Part 16 | Rumpang

954 167 123
                                    

A THING CALLED US | PART 16

"When you don't want to care about someone
but you still do, that's love."
─ dyingful

[ HANA ]

Kamasean
| Udah bubar belom, Nye?

Mengalihkan pandangan dari papan tulis ke atas meja, aku mengusap layar ponsel untuk membalas pesan dari Kak Sean.

            Belom. Sebentar lagi, Kak |

| Oke
| Di tempat biasa ya

Aku baru saja ingin membalas lagi, tapi suara tawa tertahan di sebelah membuatku langsung menoleh dan mendapati Hanggi tengah mengerling padaku. Seolah tahu apa yang dipikirkannya, mau tak mau aku jadi ikut mengulum senyum sembari memasukkan kembali ponsel ke dalam tas.

"Cieee, ada yang jadian nih sama ketua BEM," bisikannya disertai nada menggoda.

"Belum jadian tau!"

"Paling sebentar lagi." Diam-diam, aku mengamini kalimatnya itu. "Jahat banget lo lagi dekat sama Kak Kamasean gak pernah cerita ke gue," tambahnya. Aku tak menggubris lebih jauh, memilih kembali menulis materi di papan tulis dan segera menyelesaikan kelas pengganti ini. Kami bisa menggosip kapan-kapan, tapi tidak sekarang karena aku ingin buru-buru bertemu seseorang.

Tepat sebelum jarum jam berdentang di angka enam, dosen akhirnya menutup pertemuan.

Aku meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku, membereskan alat tulis, lalu tersenyum lagi tatkala membayangkan Kak Sean menungguku sembari bersandar di mobilnya seperti biasa. Hanggi mengamit tanganku sampai parkiran di depan selasar kampus─ini 'tempat biasa' yang dimaksud Kak Sean─dan pegangannya terlepas begitu langkahku berhenti.

"Gue mau nunggu di sini, Nggi."

"Di sini?" Wajahnya menoleh ke kanan dan ke kiri. "Gue gak nemu mobil BMW."

"Maksudnya?"

"Lo nunggu Kak Kamasean, kan? Gue gak lihat mobilnya tuh."

Mendengar ucapannya, aku pun ikut mengedarkan pandangan, tapi akhirnya tersenyum juga meski sosok yang kutunggu memang tidak ada. "Masih di ruang BEM kali, gak apa-apa. Lo duluan aja, udah sore."

Hanggi menatapku sangsi. "Serius? Malah karena udah sore gue jadi gak mau ninggalin lo sendirian."

"Aduh, Nggi, gue bukan anak kecil lagi tau!" dengusku, menaruh kedua tangan di pinggang. "Udah, Kak Sean bakal datang sebentar lagi. Percaya sama Hana."

"Yaudah, gue duluan ya?"

Aku mengangguk pelan, lalu melambaikan tangan ketika Hanggi hampir mencapai gerbang. Langit sudah gelap detik itu, padahal baru jam enam sore─sudah tiga puluh menit sejak Kak Sean terakhir mengirimiku pesan. Aku kembali membuka ruang obrolannya ketika selasar kampus mulai benar-benar sepi, tapi tidak aktif, pesan-pesanku tak terbaca.

Dia ke mana?

Pada hari-hari biasa, Kak Sean selalu dapat kutemukan di sini. Mobilnya terparkir asal, kadang-kadang mesinnya masih menyala, kadang-kadang ia bersandar di pintu dengan ponsel di genggaman. Tapi hari ini tidak kutemui dia di mana pun, tidak di selasar kampus, tidak di area fakultasnya, bahkan tidak di ruangan BEM─ruangan ini telah gelap sepenuhnya begitu aku sampai di sana.

Kini sudah tiga puluh menit lagi berlalu, kampus telah benar-benar sepi, selain pak satpam di pos dekat gerbang yang berulang kali menyuruhku segera pulang, tak kutemukan siapapun lagi di sini. Aku menggigiti bibir sembari berlalu, mencoba menelepon Kak Sean karena aku takut ia masih ada di sekitar kampus─meski aku tidak yakin. Ia tidak pernah seperti ini sebelumnya, ia tidak pernah meninggalkanku tanpa pesan, terakhir kali aku menunggunya ia datang terburu-buru, dan karena ada alasan yang mendesak.

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now