Part 11 | As Weird As You

1.2K 200 55
                                    

A THING CALLED US | PART 11

"Sometimes the smallest details about a person
are the biggest reason why you love them."
─ Unknown

[ HANA ]

Ada hal-hal yang seharusnya kami lakukan di hari Sabtu ini, sesuatu yang sudah menjadi rutinitas Bukan Kepompong─nama yang aneh, tapi lama-lama aku jadi terbiasa menyebut pertemanan kami dengan nama pemberian Ardika ini. Kukira itulah yang membuat kami berkumpul di sini, di kantin fakultasku. Aku juga heran kenapa lama-lama rasanya kantin fakultasku jadi markas kedua kami setelah rumah Keana.

Setelah cukup lama saling diam dan fokus bermain ponsel masing-masing, aku jadi orang pertama yang bicara.

"Malming nih gaes," kataku, tak membuat siapapun mengangkat wajahnya. "Keluar dong, di rumah mulu udah kayak galon."

Kali ini, bahu Ardika berguncang karena terkekeh, ditaruhnya ponsel di atas meja sebelum mencibirku. "Kasian jomblo pengen malmingan." Aku mendelik sebal mendengar jawabannya itu, apalagi ketika tangan lebarnya mengacak-ngacak rambutku.

"Yuk, jalan!" ajak Keenan, sontak saja Keana menoleh.

"Asoy! Mau dong, ayo jalan!"

"Ikut," ujar Ardika, memasang wajah paling memelas pada Keenan─aku tidak tahu sejak kapan tepatnya tapi kurasa sudah jadi kebiasaan di antara kami berempat kalau keputusan apa-apa pasti ditentukan oleh Keenan. Mungkin karena kami sama-sama tahu diri kalau Keenan seringkali membiayai napsu jajan kami, mungkin juga karena Keenan satu-satunya yang paling normal, atau mungkin semuanya memang benar, entahlah.

Keana mendecak. "Ngikut aja lo, fuyunghai busuk!" desisnya pada Ardika, mereka kini sibuk saling melempar gumpalan tisu bekas.

"Ayo, Na. Mau gak?" Keenan mengangkat kedua alisnya begitu berpaling padaku. Aku membuka mulut untuk menolak, tapi rasanya kalimatku tak bisa keluar menemukan manik Keenan yang berbinar-binar seolah memohon. Tapi, aku sudah ada janji malam ini.

Aku menggeleng pelan, berusaha meredam geli yang memenuhi rongga dadaku mengingat ajakan Kak Sean untuk jalan. "Kalian aja, deh. Gue absen sehari ya?" kataku akhirnya, Keana dan Ardika langsung menatapku bersamaan.

"Loh kok?"

"Iya, kalian aja bertiga. Soalnya gue udah di-booking Kak Sean muehehehe." Astaga, mengakuinya pada mereka ternyata membuat pipiku panas seketika. "Dadah jomblo, gue mau merasakan malam Minggu bukan Sabtu malam lagi!"

"Kecambah!" dengus Ardika, puas rasanya bisa mengejeknya begitu. Haaa, rasain!

"Hana belagu banget. Gue doain lo kena PHP, bangsat." Keana bersungut-sungut sembari menyeruput es jeruk di depannya, kubalas saja dengan juluran lidah seperti yang biasa dia lakukan ketika berhasil meledekku. "Jadi gak nih, Ken?" tanyanya setelah beberapa jenak, dan Keenan tak lagi membahas acara jalan-jalan mereka.

"Lo aja deh berdua sama Dika," jawabnya sembari tertawa.

Aku diam mengamati, merasakan tawanya yang hambar itu. Keenan yang kutahu, meski tak sering tertawa seperti Ardika, ia memiliki jenis tawa yang hangat, yang membuat siapapun pendengarnya merasa bahagia. Melihatnya kali ini memberi tawa yang tidak biasa, ditambah beberapa hari terakhir ini kurasa emosinya sedikit tidak terkontrol, aku jadi berpikir mungkinkah ada sesuatu yang ia sembunyikan?

Kuharap ia baik-baik saja.

***

Langit sudah menguning begitu aku membuka pagar rumah seraya menyemprotkan parfum di sekitar leher dan pergelangan tangan. Telepon genggamku berdering, menampilkan nama seseorang yang bahkan hanya dari namanya saja, mampu membuat jantungku berdesir tak karuan. Aku berusaha menekan suara agar tak terdengar terlalu girang ketika mengusap layar untuk menjawab panggilannya.

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now