Part 17 | How Do You Heal a Broken Heart?

1K 168 75
                                    

A THING CALLED US | PART 17

"Honestly, when I met you I had no idea
you'd end up meaning so much to me."
─ Unknown

[ KAMASEAN ]

Rapat mingguan hari ini selesai lebih cepat dari biasanya, itu karena gue belum dapat keputusan apa-apa dari petinggi kampus dan anak-anak yang lain juga gak lagi mengusulkan jalan keluar. Gue sendiri berpikir kalau pada akhirnya suara gue selaku perwakilan mahasiswa gak juga didengar, gelar tikar besar-besaran alias danusan harus dijalankan. Tapi jangan sampai deh, danusan biasa aja gue malas apalagi danusan akbar. Tahun pertama gue kuliah dan angkatan gue terpaksa ikut danusan karena kekurangan biaya buat garap acara yang niatnya mau spektakuler itu, gue terpaksa beli semua dagangan gue karena gue malas jualan.

Ya, gimana mau rajin? Yang dijual sejenis keripik, yang dibeli malah foto bareng gue.

Bukannya sombong, tapi gue sebenarnya lebih pemalu dari yang orang-orang kenal. Mereka tahunya gue haha-hihi doang padahal dalam hati mah huhuhu. Yah, gue rasa, kadang, kita mesti berpura-pura bahagia cuma supaya hidup terus berlanjut, kan? Dan seseorang pernah meyakinkan gue kalau gak ada yang salah tentang itu. Di hadapan orang yang tepat, gue toh tetap bisa jadi diri gue yang sebenarnya.

Pintu ruangan udah lama terbuka, orang-orang berpamitan sekilas pada gue sebelum keluar satu per satu, hingga menyisakan gue sendiri. Gue menunduk menatap layar ponsel sembari menggerak-gerakkan kaki agar kursi yang gue duduki berputar-putar pelan, terkekeh sejenak, lalu kembali ke layar ponsel. Balon chat terakhir gue gak dibalas sama Hana, dia lagi ada kelas─gue senang dia gak main handphone. Puas men-scroll dan membaca pesan-pesan di ruang obrolannya, gue bangkit untuk mengunci ruangan, masih dengan senyum yang susah gue tahan.

Yang gak gue sangka, ternyata di luar ada sekumpulan anak monyet.

"Kenapa lo senyam-senyum gitu? Kayak abis dapat tiket umroh aja."

Dih, bisa ngomong.

"Perasaan hasil rapat masih gantung kok lo udah sumringah?" Sadewa natap gue.

Sembari mencabut kunci, gue mendecak. "Lo gak lihat di mata gue ada lope-lopenya?"

Chandra ketawa. "Najis, bangke!"

"Gue gak pernah lihat lope-lope di mata lo, Yan. Lihatnya mah hawa napsu." Jidan kalau ngomong suka gak bismillah dulu. "Biar gue tebak, lo mau ketemu degem kesayangan lo itu, kan?"

"Hana," seloroh gue, bikin Jidan menautkan kedua alisnya. "Namanya Hana, jangan dipanggil degem kesayangan gue."

"Tapi lo juga gak manggil dia Hana."

"Ya suka-suka gue lah, gebetan-gebetan gue."

"Owh, gebetan cuy? Seingat gue lo cuma jadiin dia pelarian."

"Ah, ngomong mulu, belum aja rahang lo gue puter!"

Tiga orang di hadapan gue itu lantas pada ketawa, sampai tiba-tiba ponsel gue berdenting, buru-buru gue merogoh saku dan dengan percaya dirinya gue kira pesan itu dari Hana. Nama yang tertera di layar membuat tawa gue surut seketika, pesannya membawa aura suram seolah-olah kebahagian gue baru aja disedot dementor. Tapi jari-jari gue tetap membuka pesan itu, pesan yang seharusnya gak gue baca.

Gladys

Gladys

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
A Thing Called UsWhere stories live. Discover now