Part 13 | When You Love Someone

1.1K 190 77
                                    

A THING CALLED US | PART 13

"Never explain your heart to someone,
because the right one will already know."
─ Bridgett Devoue

[ KEENAN ]

Pertandingan futsal antara anak Hukum dan anak Arsitektur berjalan cukup sengit─di luar dugaan gue karena ini pertama kalinya gue ikut pertandingan futsal antar jurusan─dan gue agak kewalahan mengimbangi permainan Ardika yang sejak kecil jadi partner main gue. Ah, padahal gue gak pernah kalah sama dia, tapi kali ini gue harus puas bisa mencetak satu kali gol walaupun akhirnya anak-anak arsi yang terkenal asik itu (well, Ardika benar-benar masuk ke jurusan yang sesuai dengan predikatnya) memenangi pertandingan sambil bersorak-sorak riuh di tengah lapangan.

Gue mendudukkan diri di bangku tribun, mengibas-ngibaskan baju yang kerasa lengket di kulit karena keringat yang bercucuran, kemudian tersenyum memandangi anak-anak itu yang lagi merayakan kemenangan mereka pakai semburan air mineral.

"Are you okay?" Ardika, alih-alih bergabung di lapangan sana, dia malah menemani gue di tribun. Dia menyodorkan botol air minumnya, yang langsung gue tenggak sampai setengah abis.

"Sure. Gue gak pernah ngerasa sesehat ini." Gue mengedikkan bahu, kemudian mengembalikan botol air minumnya. Ardika mengangguk berulang kali, tapi gue masih bisa menemui raut-raut khawatir di mukanya. "Kalem aja, Dik. Dokter juga nyuruh gue buat banyak gerak," ucap gue, berusaha mencairkan suasana.

"Iya, tapi hari ini doang. Besok-besok gak ada lagi main futsal, lo main Hago aja, Nyet."

Tawa gue langsung pecah, bikin raut wajah Ardika yang sebelumnya kaku jadi sedikit mencair karena dia ikut ketawa. Sedikit banyak, gue paham apa yang ada di pikirannya saat ini. Ardika takut, takut kejadian beberapa bulan lalu terulang lagi di depan matanya. Pertama kali tumor di otak gue terdiagnosis, itu karena kaki gue yang tiba-tiba mati rasa waktu main futsal kayak sekarang. Orangtua gue langsung membawa gue ke rumah sakit, dan setelah menjalani CT Scan, rupanya ada sebuah jaringan yang tumbuh secara abnormal sebesar bola pingpong di otak gue. Sejak saat itu, setiap gue ngajak tanding, Ardika gak pernah segan-segan buat nolak.

Tapi kali ini, hari ini, dia mengiyakan ajakan gue. Seolah-olah tahu ada hal lain yang tengah mengganggu gue dan cuma ini yang bisa dia lakukan buat menghibur.

"Abis ini jangan langsung balik, Dik."

"Lo mau ngapain lagi? Gue udah cape, mau rebahan."

Gue mendecak. "Makan dulu, gue yang bayar."

Ardika menoleh ke gue, senyumnya menyungging penuh kecurigaan. "Tumben baiknya ke gue gak ke Hana? Dalam rangka apa nih?"

"Patah hati," jawab gue sembari terkekeh miris. Ardika mendecih, kemudian bersandar di bangku tribun dengan kedua sikunya yang bertumpu ke belakang. Dia kelihatan acuh gak acuh, tapi gue tahu dia yang paling paham sama masalah gue ini lebih dari siapapun. Kita diam selama beberapa menit itu, mengangguk dan menanggapi seadanya pamitan dari anak-anak lain yang mulai meninggalkan lapangan.

Sampai di satu titik, Ardika akhirnya menghela napas. "Beberapa hari lalu gue ketemu Rinjani." Nama itu serta merta bikin gue mengangkat wajah, menatap Ardika dengan dahi mengernyit. "Dia lagi jemput adeknya di tempat latihan taekwondo, kebetulan pas-pasan sama gue yang mau pulang. Dia nanyain kabar lo, Ken."

"Terus lo jawab apa?"

Ardika memicingkan matanya melirik gue, ada geli yang melintas di sana. "Ya gue jawab masih hidup lah, apalagi?" Candaannya bikin bahu gue berguncang karena menahan tawa, walaupun diam-diam gue cukup tercekat sama kalimatnya. Ya lagian, siapa yang gak takut mati, sih? Gue masih mau ada di bumi. Di tambah ada makna lain dari jawaban Ardika itu, sesuatu yang menyindir Rinjani karena dia pergi begitu aja─takut gue mati lebih cepat dari dugaannya, mungkin. Mengetahui Rinjani masih peduli sama gue, membangunkan sesuatu dalam diri gue, sesuatu semacam kekecewaan─dan pengharapan.

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now