Part 7 | Tentang Seseorang yang Pergi

1.4K 240 59
                                    

A THING CALLED US | PART 7

"It's terrifying to know,
that sometimes, love breaks."
─ Perry Poetry

[ KEENAN ]

"Jadi mau kebab atau takoyaki?"

"Kenapa sih perempuan harus memilih? Bukankah kita bisa mendapatkan keduanya?" Kening Hana berkerut mendengar kalimat gue, bikin gue secara impulsif langsung mengangkat tangan buat mengurut keningnya yang kusut. "Gue laporin loh ke Mba Nazwa, biar lo diceramahi tentang kenapa perempuan gak boleh dihadapkan pada pilihan. Terutama tentang makanan."

Gue mendecih, nyaris aja menoyor kepalanya andai kata gue gak luluh sama raut cemberutnya itu. "Emangnya kenapa perempuan gak boleh dihadapkan sama pilihan? Apalagi tentang makanan?"

Hana mengangkat telunjuknya di depan wajah, sebuah gerakan yang kerap kali dia lakukan tiap akan menjelaskan sesuatu─yang sialnya gak pernah penting, tapi selalu dia jabarkan seolah-olah penting. "Karena terakhir kali perempuan memutuskan makan sesuatu yang dia mau, umat manusia terusir dari surga, Ken."

Ya Tuhan, Hana kalau gue jual di tukang loak laku berapa, ya?

Dengan gemas, gue acak-acak puncak kepalanya yang langsung dia balas dengan dengusan. "Yaudah yaudah, jadi mau kebab sama takoyaki, nih?" tawar gue akhirnya, sebagai sogokan juga karena dia udah mau-maunya gue ajak keliling mall hari ini.

"Mau sama es krim boleh gak? Gelato, yuk?"

Gue mendelik, tapi tak ayal terkekeh juga. "Jajan mulu deh ini anak babi."

Hana gak menjawab, hanya mengerutkan hidung sebagai tanda kemarahannya. Tapi toh yang namanya Hana gak pernah bisa benar-benar marah sama sesuatu, apalagi sama gue, jadi menjahilinya memang semenyenangkan itu kalau harus gue akui. Gue juga kadang bingung sama mekanisme pertahanan diri Hana, dia selalu punya caranya sendiri dalam melihat segala sesuatu─seolah di matanya dunia ini hanya terdiri dari warna-warna pelangi dan percaya kalau hidup bisa semanis permen jelly.

Menakjubkan, bagaimana seorang anak kecil cengeng yang dulu selalu bersembunyi di kolong meja makan rumah gue karena pertengkaran kedua orangtuanya, kini tumbuh jadi perempuan yang bisa membawa kebahagiaan bahkan buat celotehan-celotehannya yang gak jelas.

"Suit, yuk?"

Gue menaikkan kedua alis sembari membuka pintu toko gelato, denting belnya berbunyi begitu gue dan Hana menginjakkan kaki di dalamnya. "Buat apaan suit segala?"

"Yang kalah pesan ke counter, yang menang milih tempat duduk."

Ribet amat, anjir.

"Udah, gue aja yang pesan. Silahkan duduk, Ndoro."

Hana terbahak. "Eh, makasih ya. Baik banget ke majikan."

Sumpah, kalau aja mbak-mbak di counter gak memperhatikan gue dan Hana gak keburu berlalu nyari tempat duduk, rasanya gue kepengen jitak kepalanya bolak-balik. Tapi tentu aja gak akan gue lakukan, terlanjur sayang.

Gue kemudian memesan dua tangkup gelato rasa greentea dan cookies and cream─favorit Hana sepanjang masa─juga rasa pistachio buat gue sendiri. Begitu selesai membayar, gue menaruh nampan di atas meja pilihan Hana yang bersisian langsung dengan kaca toko, bikin kita bisa dengan mudah saling berpandangan dengan pengunjung mall di luar sana.

Ah, jadi ini maksudnya dengan 'yang menang milih tempat duduk', karena kalau gue yang milih pasti gue akan duduk di meja yang terletak sudut-sudut kafe, menghindari keramaian seperti biasa. Gue kurang suka keramaian, gue lebih sering menarik diri dari kumpulan apapun, berbanding terbalik dari Hana. Dan dengan caranya sendiri, Hana selalu berusaha membuat gue nyaman dengan dunianya, tanpa harus terganggu dengan itu.

A Thing Called UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang