Part 6 | Susu Pisang

1.8K 264 123
                                    

A THING CALLED US | PART 6

"Sometimes you meet someone
and feel connected."
─ h.a

[ HANA ]

Sabtu malam adalah jadwal kumpulan rutin untuk kami berempat─walau kami masih selalu berkumpul di hari-hari lain, tapi khusus malam Minggu kami sepakat harus menghabiskan waktu bersama. Alasannya sederhana, karena kami semua jomblo. Lagipula, kami memang tumbuh besar bersama, rasanya aneh kalau sehari saja tidak melihat satu sama lain. Dulu ketika aku dan Keenan masih tinggal di komplek yang sama dengan Keana dan Ardika,  kami bahkan bergiliran menginap di rumah masing-masing.

Seiring bertambah dewasa, memiliki banyak teman yang lain juga urusan-urusan lain, agak sulit melanjutkan hal-hal yang dulunya selalu kami jalani. Tapi setidaknya, setiap Sabtu malam begini, kami akan kembali menjadi kami yang dulu. Begadang menonton film apa saja yang baru ditemukan Ardika, mencoba masker buatan Keana dan berakhir beruntusan besok paginya, memasak resep carbonara kesukaanku tengah malam, sampai mendengarkan Keenan bermain gitar setiap subuh karena menurutnya suaranya di pagi hari terdengar seksi.

Aku baru saja keluar dari kamar Keana setelah mengganti pakaian dengan setelan piyama ketika kulihat layar ponselku berkedip di atas meja. Ardika yang menggenggam remot televisi buru-buru melongokkan wajahnya untuk mengintip ponselku.

"Na? Ada chat tuh," katanya, kembali sibuk menyetel film yang ingin ditontonnya.

"Paling dari operator," balas Keana ketika aku mencebikkan muka dan mengecek ponsel. Rentetan nomor itu tidak kukenali, tapi berhubung aku mengikuti beberapa UKM dan sering menghadiri perkumpulan apa saja, aku tidak terlalu terkejut mendapat pesan-pesan yang aku sendiri tidak tahu siapa pengirimnya.

0822-13xx-xxxx
| Ini Hana, kan?

Aku baru saja akan mengetik 'siapa, ya?' tapi sesuatu dalam diriku malah bergerak untuk mengecek display picture-nya. Dan seandainya mungkin, rahangku pasti sudah jatuh ke lantai.

Kak Kamasean... mengirimiku pesan?

"MAU MATI!!!" Aku berteriak, antara terkejut dan girang bersamaan. Tiga orang di ruangan itu yang tengah sibuk dengan urusannya masing-masing menoleh padaku ketika tubuhku luruh di atas karpet. "Gue di-chat duluan sama Kak Kamasean sumpaaaaah!"

Keana buru-buru mendekat dan merebut ponselku. "Hah? Demi apa anjir? Mujur juga susuk lo, Na."

"Gue pukul ya lo!" Aku mendecak, lalu kembali meringis panik. "Gue harus apa, ih?"

"Menyelamatkan dunia," tukas Ardika, kemudian terkikik sendiri.

"Serius dong, Dodol! Grogi nih gue, seluruh tulangku bergetar huhuhu."

"Ya dibales lah?" Keenan menatapku, raut wajahnya datar seperti biasa. Aku melengkungkan bibir ke bawah begitu balik menatapnya.

"Bales apa? Ntar kalau gue salah kata-kata terus Kak Kamasean ilfil terus gak mau chat lagi sama gue terus gue harus gimana terus terus─"

Ardika mendecak, lalu memotong omonganku. "Terus lo mundur, belah sana ada jurang tuh, terjun aja." Seperti yang sudah bisa diduga, bacotan Ardika selalu berhasil mengundang tawa, apalagi kalau aku yang disudutkan. Aku diam tak menanggapi lagi, memilih memutar otak untuk membalas pesan Kak Kamasean. Namun menit berlalu, aku masih sibuk menggigiti kuku dengan pesan Kak Kamasean yang mendingin tak terbalas.

Keana kembali setelah mengambil makanan dari layanan pesan-antar yang dipesankan Keenan, di ujung anak tangga ia melirikku penasaran. "Jadi udah lo balas belum chat-nya, Na?" tanyanya, yang kubalas dengan gelengan pelan. "Balas dong? Kasian itu masa dikacangin?"

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now