Part 8 | Gadis Bermata Almond

1.4K 224 83
                                    

A THING CALLED US | PART 8

"Your eyes.
Your eyes hold everything
my soul thirsts for."
─ Perry Poetry

[ KAMASEAN ]

Seperti sebelum-sebelumnya, kelas bubar dan gue pulang ditemani suasana yang biasa; langit sore, jalanan Jakarta yang luar biasa padat, mahasiswa yang menyerbu gerbang keluar kampus dengan segala hiruk-pikuknya. Kalau nggak ada jadwal kumpulan atau tugas yang harus dibahas, gue hampir selalu pulang begitu kelas selesai, tapi tentu aja pulang yang gue maksud bukan menuju apartemen gue, melainkan tempat-tempat lain di mana gue bisa melepaskan titel dan segala tetek-bengek tanggungjawab yang senantiasa gue pikul ketika gue ada di sekitar kampus.

Tapi sore ini berbeda. Gue belum tahu bakal ke mana setelah gue mengantarkan perempuan ini─yang sekarang tengah duduk di sebelah gue dengan susu pisang di pangkuannya. Dia gak banyak bicara─atau mungkin belum─karena setelah beberapa kali sempat chatting-an, gue rasa dia agak bawel. Ya ya ya, gue tahu Hana nervous. Perempuan-perempuan sebelumnya yang duduk di kursi yang sama juga selalu nervous setiap kali gue setirin.

"Uhm, Kak?" Itu suara pertamanya yang gue dengar sejak di dalam mobil. Gue noleh sekilas, sebelum menginjak rem perlahan karena lampu di depan sana berubah merah. "Makasih ya, udah diantar pulang."

Gue pengen ketawa. "Kenapa makasih sekarang? Kan belum nyampe, loh."

Hana gak menjawab lagi, cuma garuk-garuk kepala yang menurut tebakan gue sih kayaknya gak gatal. Tadinya, gue berrniat jemput dia ke kampus bareng bukannya pulang bareng, karena suasana jalanan pulang seringkali memancing makian gue keluar dengan lebih mudah, dan itu jelas bukan sesuatu yang ingin gue tunjukkan ke Hana. Tapi Hana bilang dia punya partner berangkat sendiri, sahabatnya atau apalah itu, gue gak terlalu peduli juga.

Lampu berubah hijau, gue melajukan mobil lagi dengan tenang. Keheningan ini jauh di luar ekspektasi gue, mengingat kelakukan Hana yang majang foto gue di mading dan cuitan-cuitan randomnya, juga beberapa kali chat terakhir, gue kira Hana anak yang sedikit annoying. Melihatnya diam begini gue jadi gak tahu apakah ini lebih annoying lagi atau sebaliknya. Jujur, gue juga agak sulit basa-basi, sejauh ini kalau ada pendekatan dengan inceran baru, gue cuma menanggpi seadanya dan yang bertindak lebih udah pasti lawan gue, bukan gue. Gue mah bagian iya-iya aja.

"Susu pisangnya enak?" Astaga, kenapa juga gue malah nanya pertanyaan sekonyol itu. Kan, nggak lucu kalau Hana merasa gue sama anehnya kayak dia. Gue lirik dia lewat sudut mata, tapi Hana cuma senyum samar sembari mengangguk.

"Enak, Kak. Mau coba?"

"Nggak, makasih. Udah tau rasanya kayak apa soalnya."

"Kayak apa emangnya?"

"Ya kayak pisang."

Aduh, ini yang bego siapa dah? Tapi gue malah ketawa, heran.

"Omong-omong, makasih, Kak. Buat susu pisangnya bukan buat dianterin pulang."

Gue ngangguk, masih geli sama topik obrolan sebelumnya. "Sama-sama, Onye," balas gue, entah dari mana juga datangnya panggilan itu. Mendengar kalimat gue, Hana buru-buru noleh, tanpa dilihat langsung juga gue tahu dahinya sekarang mengerut gak terima.

"Kok manggil Onye, sih?" tanyanya, gue ketawa lagi.

"Mirip abisnya," jawab gue sembari menunjuk susu pisang di pangkuannya pakai dagu. Hana melengos, kemudian menyesap susu pisang pemberian gue itu lambat-lambat. Lampu merah berikutnya sedikit lebih lama, gue baru aja mau menyalakan radio buat membunuh hening ketika suara Hana menghentikan gerakan gue.

A Thing Called UsUnde poveștirile trăiesc. Descoperă acum