Part 14 | Untuk Menjadi Saling

1.1K 189 89
                                    

A THING CALLED US | PART 14

"Sometimes people are beautiful.
Not in looks. Not in what they say.
Just in what they are."
─ Unknown

[ HANA ]

Pagi yang cerah.

Matahari tak terlalu terik, awan-awan putih yang bergantung di langit terlihat seperti gumpalan kapas, sementara semilir angin terasa sejuk. Mobil hitam Kak Sean terparkir bersisian dengan mobil mahasiswa-mahasiswa lain di sepanjang parkiran khusus Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Ini pertama kalinya aku ikut sampai ke fakultasnya, biasanya Kak Sean akan mengantarku ke gedung fakultasku sendiri dan begitu pun jika pulang, kami akan berjanjian di tempat yang kami sepakati.

Pagi ini jadi terasa lebih gerah dari yang seharusnya karena kurasa orang-orang mulai memandangi kami.

Aku berdiri di depan pintu mobilnya, menunggu Kak Sean yang masih sibuk membuka sweater dan hanya menyisakan kaus putih. Harus kuakui aku mulai benci melihatnya dengan kaos-kaos polos begitu, karena itu terlalu menyiksa untuk dilihat─terlalu indah, seperti sesuatu yang tidak nyata. Ethereal.

"Onye, ada yang nitip salam." Kak Sean masih sibuk menyemproti badannya dengan parfum sewaktu aku menoleh untuk menatapnya. Ia tersenyum miring.

"Dari siapa?" tanyaku, penasaran.

"Dari Kamasean."

Aku tak kuasa menahan tawa, bahkan dapat kurasakan pipiku menghangat. Ah, terkutuklah Kamasean dan segala tingkah manisnya. Oh iya, apa aku sudah bilang aku menyukai bagaimana ia yang dengan pintarnya selalu melompat-lompat dari satu bahasan ke bahasan yang lain agar selalu ada obrolan di antara kami? Itu baru saja terjadi. Dia memang semenakjubkan itu.

"Kakak, masih pagi jangan bikin gue senyum-senyum, ya! Nanti kalau ada yang naksir gue gimana?"

Kak Sean memutar mata sambil terkekeh ringan, nampak pura-pura berpikir. "Hm... emang ada yang bakal naksir? Kayaknya gak ada, deh." Ia menutup pintu mobil kemudian mengayunkan remot untuk menguncinya. Masih dengan pandangan jahilnya itu, ia menghampiriku. "Yaudah, sini gue taksir aja biar ada," lanjutnya lagi, lalu terkikik dan membiarkanku memukul pelan bahunya.

Seperti yang sudah pernah kubayangkan, jalan beriringan dengan Kak Sean di kampus rasanya menyeramkan. Orang-orang memperhatikan kami─lebih tepatnya aku, mungkin. Sebenarnya aku tidak pernah peduli jika menjadi pusat perhatian, hanya saja pandangan-pandangan yang menatapku penuh penilaian itu tetap saja membuatku tidak nyaman. Aku menoleh pada lelaki di sampingku yang berdiri tegap seolah tak ada yang mengganggunya, memikirkan bagaimana mungkin ia bisa terbiasa dengan ini semua. Sebagai seorang ketua BEM, Kak Sean pasti sudah muak dengan tatapan-tatapan yang mengirinya, tatapan yang tidak selalu berupa kekaguman, tatapan yang tak selalu enak dipandang.

Lalu, kutemukan bahunya turun selagi menghembuskan napas panjang begitu kami berbelok keluar area FEB. Dan saat itu aku sadar, Kak Sean juga jengah. Itu mungkin yang selalu membuatnya mengantarku lebih dulu alih-alih membawaku ke fakultasnya seperti sekarang.

Serta merta aku dihingggapi perasaan tidak enak lagi karena memajang fotonya di mading. Bayangkan betapa sebalnya dia mendapati wajahnya terpampang di mading, rasanya Kak Sean terlalu baik sudah mau-maunya meladeni kebucinanku sampai titik ini.

"Kak..." panggilku pelan, dan ia langsung menoleh dengan kedua alisnya yang menaik. "Lain kali, turunin gue di depan fikom aja, gak apa-apa kok."

"Kenapa?"

"Ya gak apa-apa. Daripada lo harus jalan kaki nganterin gue ke fikom, kan?"

"Emang itu tujuan gue."

A Thing Called UsWhere stories live. Discover now