(NAFSU SANG PSIKOPAT)

315 13 8
                                    

                              
Thalia membuka mata nya saat merasakan kaki nya seperti ditendang. Entah berapa lama ia merasakan rasa nya pingsan.

Yang pertama kali Thalia lihat saat membuka mata adalah sosok Jovita. Melihat tangan dan kaki nya yang diikat, Thalia langsung berteriak. Namun tak ada yang menyahut, ia tau, karna disini tempat nya berada sekarang adalah gedung kosong yang kotor.

"Vitaaa! Lo mau apain gue?!" teriak Thalia. Ia kemarin memang putus asa dan sudah tak ada harapan. Namun sekarang, ia belum siap jika ia harus hilang dari dunia.

"Vitaa! Lo mau apain gue?! Gue dimana? Bawa gue pulang sekarang?!" entah sejak kapan ia mulai menangis. Tentu saja ia sedih dan takut.

Vita sendiri hanya tersenyum menikmati penderitaan dan setiap air mata yang keluar dari mata Thalia.

Ya, sosok yang menculik Thalia kemarin adalah Jovita. Akhirnya hari ini tiba juga. Hari yang selama ini sudah Vita tunggu-tunggu.

"Lo kenapa bawa gue kesini?" tanya Thalia lemah. Dari kemarin malam ia belum makan. Dan sekarang sudah hari kedua sejak Thalia pingsan.

Tak menjawab, Vita malah mengeluarkan pisau kecil lipat dari saku jaketnya. Membuat Thalia menjadi semakin takut.

"Kenapa lo? Takut? Mana Thalia yang cuek dan berani?" sinis Vita. Ia mainkan pisau lipat nya dengan senyum smirk.

"Lo mau apain gue, Vita? Apa salah gue ke lo? Lo mau bunuh gue? Kenapa?" Thalia kembali terisak.

Tak menjawa, Vita malah beralih menatap meja kayu yang diatasnya banyak senjata tajam yang sudah dipersiapkan sedemikian rupa.

"Mau milih yang mana?" tanya lalu terbahak-bahak seperti sedang menonton acara komedi.

Thalia mengikuti arah pandang Vita lalu malah gemetar. Ia masih tak paham kenapa Vita membawanya kemari.

"PILIH!!" bentak Vita karna Thalia tak menjawabnya. Tentu saja Thalia tak menjawab, ia mungkin sudah sangat takut.

Lo- lo mau ngapain gue Vita? Tolong lepasin, hiks," Thalia menangis lagi.

"Diem lo! Tinggal pilih aja apa susah nya?! Pilih aja dulu, gue nyiksanya belakangan," ucap Vita bak psikopat.

Thalia menatap Vita ngeri, lalu beralih menatap senjata-senjata di atas meja kayu tadi.

Di atas meja tadi terdapat: pisau, belati, golok, katana, pistol, dan pedang. Entah Vita berniat membunuh atau berperang.

"Pi- pistol," jawab Thalia. Menurutnya jika dia dibunuh menggunakan pistol, mungkin rasa sakitnya tak akan terlalu terasa lama.

Vita kecewa karna dikiranya Thalia akan memilih pisau, tapi tak apa, sekejap ia kembali tersenyum.

"Gak asik sih pake pistol, tapi gak apa-apa, nanti si-pistol bakal kepake."

***

Disisi lain Gerald merebahkan diri nya ke kasur setelah tadi pergi ke rumah Thalia dan mendapatkan kabar bahwa Thalia belum pulang dari kemarin.

Tadi di rumah disana ia juga disalahkan lagi atas hilangnya Thalia. Memang ini salah nya, tapi bukan dia yang menyulik Thalia bukan?

"Kenapa sih gue selalu salah ngomong kalo didepan dia? Dia jadi salah paham kan!" rutuk Gerald sendiri.

***

Dara dan Amanda sejak tadi berusaha melacak lokasi lewat handpone Thalia, namun gagal karna sepertinya handpone tersebut mati atau lowbatt.

"Gimana nih Dar?" tanya Amanda khawatir akan Thalia. Yang lain juga sama khawatirnya.

Apalagi Ben dan Linda yang lebih khawatir. Mereka sudah melapor ke polisi, namun belum ada kabar.

Sementara Angga dan Gavin sudah mencari Thalia sejak kemarin juga. Belum makan mungkin.

Dan Gerald? Ia sibuk mengurusi batin nya sendiri di dalam kamar. Berengsek kan?

Dara menelpon Adelyn setelah Amanda bertanya dengan siapakah Thalia sering berkumpul.

Panggilan diangkat. "Lyn, lo ada dimana?" tanya Dara. Ia tak bertanya soal Thalia agar tidak menimbulkan kecurigaan. Bisa saja kan, Adelyn menyulik Thalia lalu dijual ke rumah bordir?

"Di kafe lagi ngopi bareng gebetan. Udah ah, ngapain sih kepo?" tak lama Adelyn langsung mematikan sambungan. Membuat Dara dan Amanda kesal sendiri.

"Gimana nih?" tanya Dara.

"Eh, tadi kan Adelyn bilang dia lagi ngopi sama gebetannya, berarti dia gak bareng sama Vita dong?" bijak Amanda.

"Vita gue telpon sekarang nih?" tanya Dara.

"Ehh, jangan dulu. Kita lacak dulu lokasinya, bener apa nggak di kafe. Baru kita telpon Vita," balas Amanda lagi. Dara hanya mengangguk-angguk.

Dara melacak lokasi Adelyn. Dilihatnya memang ia sedang berada di kafe. Tak lama setelah itu, Amanda menyuruh Dara langsung melacak lokasi Vita.

***

Thalia memejamkan mata nya lalu membuka mata. "Sebenernya lo ada masalah apa sama gue? Kenapa lo bawa gue kesini dan mau bunuh gue?" tanya Thalia untuk yang terakhir kalinya sebelum ia menyerahkan nyawanya kepada Vita.

Vita tersenyum sinis. "Maafin gue tapi, gue suka aja ngeliat lo menderita. Gue pengen ada orang yang buat gue bahagia. Contohnya lo. Lo buat gue bahagia karna bersedia ngasih jiwa raga lo ke gue. Makasih."

Thalia mengeluarkan air matanya. "Gue- gue juga berterimakasih ke lo. Karna lo, gue gak perlu bunuh diri," ucap nya lirih sambil tersenyum kecut.

"Heh! Lo mau bunuh diri?" tanya Vita.

Thalia tak menyahut.

"Setidaknya dengan lo bunuh gue, dosa gue pindah ke lo," tambah Thalia.

"AAA BACOT!" Vita menancapkan pisau lipat nya ke arah dada atas Thalia.

Darah Thalia bercucuran sangat banyak. Vita tersenyum puas melihat banyaknya darah yang keluar, dan juga air mata.

"Arrrggghh!" pekik Thalia merasakan betapa sakit nya tancapan pisau tajam milik Vita di dadanya.

Vita mencabut pisau nya dengan kasar lalu membuang nya kesembarang arah.

"Awww!" pekik Thalia lagi. Darah nya keluar semakin banyak.

Vita beralih mengambil golok diatas meja. Dengan senyum smirk-nya, ia mendaratkan golok tersebut tepat di atas paha Thalia dengan kencang.

"Arghhhh!" Thalia mengeluarkan air matanya. Menatap paha nya yang mengeluarkan darah lebih banyak dari yang ada di dada. Rasa sakit, perih, dan nyeri itu bercampur hingga ke tulang yang paling dalam.

"HAHAHAHAHA!" Vita sangat puas hari ini.

Vita sekarang meletakan goloknya dengan perasaan ke lantai. Ia sekarang memakai tangan kosong menjambak rambut panjang Thalia yang terurai hingga rontok bahkan gundul sebagian.

Thalia menguarkan darah nya dari hidung sambil terisak. Di dalam hati ia terus menyebutkan nama kedua orang tua nya dan orang-orang lainnya yang ia sayang.

Vita terbahak melihat hasil karya buatannya.

Thalia gadis cantik itu telah hilang. Kepalannya sudah botak dengan sedikit darah, wajahnya sudah pucat pasi, dada dan pahanya tak henti-hentinya mengeluarkan darah.

Dor!

Sekarang, Vita menembak kaki Thalia menggunakan pistol.

"Sesuai kemauan mu sayang."

Vita berbalik dan bergegas meninggalkan gudang tua ini beserta Thalia. Ia tak peduli jika Thalia mati.

Baru saja berbalik, "Angkat tangan atau saya tembak!"

:'(

"Lebih baik berakhir seperti ini. Percuma aku hidup. Aku menyerah Tuhan. Biarkan aku pergi dari dunia ini jika memang ini adalah satu-satunya jalan agar aku tenang."

                           –Nathalia

                             ~END~



Thalia (END)Where stories live. Discover now