4. APA LAGI INI?

3K 581 33
                                    

Selama beberapa saat duduk sendirian di teras rumah yang ditinggali Andrea, Gembul merenungkan emosi yang mengganggunya sejak semalam. Entah mengapa ia merasa sedikit kalut. Lubuk hatinya merasa tak tenang tanpa bisa dijabarkan. Ia tak pernah merasakan hal seperti ini sebelumnya saat akan melakukan perintah. Baik itu dengan Tombak, rekan lain di organisasi, atau bahkan saat ia bertugas sendiri.

"Nih hp lo, Bang."

Gembul menoleh Andrea yang berdiri di hadapannya tanpa ia sadari. "Udah?" tanyanya seraya menerima ponsel.

Andrea mengangguk.

"Bos bilang apa?"

"Kepo banget sih obrolan Papa sama anaknya?"

Gembul tak menyahut, melainkan hanya berdiri dan memasang ranselnya. Suasana hatinya sedang tidak baik, dan ia tak mau Andrea menambahinya menjadi lebih buruk. Tanpa kata lagi, Gembul melangkah pergi begitu saja.

"Lo ngambek, Bang?" Pertanyaan Andrea berhasil menghentikan Gembul yang sudah membuka gerbang.

"Mood gue lagi nggak bagus, Ndre. Dah..."

"Tadi Papa cuma bilang," teriak Andrea cepat. "...selama lo nggak ada di sini, gue harus hubungin Bang Tombak kalau ada apa-apa."

Senyum simpul Gembul terukir. Pria yang sudah berada satu langkah di luar gerbang itu membalikkan badan. "Gue nggak ngambek. Nggak perlu lo jelasin juga nggak apa-apa."

Andrea berjalan mendekat, menatap kesungguhan di mata Gembul yang berada tepat di hadapannya. "Lo jarang murung kaya' gini, Bang."

"Oh ya?"

"Hih!" Andrea mendorong dada Gembul. "Tahu nyebelin gini mending gue nggak ngekhawatirin lo!"

"Lo khawatirin gue?"

"Ya iya lah. Dari pagi lo diem aja, padahal biasanya bawel."

Gembul tertawa kecil. "Baik-baik lo selama gue nggak di sini. Jangan bikin onar! Lo orang baru. Inget?"

"Hm."

Kaki Gembul kembali melangkah. Sebelum masuk ke dalam mobil, pria itu menoleh Andrea lagi. "Lo emang bisa hubungin Tombak kapan pun kalo lo kesulitan, Ndre. Tapi ingat! Dia bukan anggota organisasi lagi. Dia juga udah punya kehidupan sendiri. Lo harus bisa ukur sejauh mana lo ngerepotin dia."

Andrea tak menyahut lagi setelah itu. Sepeninggal mobil Gembul dari hadapannya pun, perempuan itu hanya melamun mengamati sisa jejak basah yang ditinggalkan hujan ringan pagi tadi.

***

Aira yang sedang berjongkok membersihkan dedaunan kering di kebun kecilnya, sesekali memperhatikan Tombak yang sedang melakukan panggilan telepon di halaman belakang. Pria itu berdiri memunggunginya. Sinar matahari sore yang menerpa punggung pria itu membuat Aira berkali-kali memuji gambaran visual nyata yang ada di hadapannya.

Sungguh... perpaduan punggung lebar Tombak dan pemandangan gunung sungguh sangat sayang jika banyak dilewatkan.

"Ada yang lucu?"

Pemikiran Aira buyar seketika saat sang suami berjalan mendekatinya dengan heran. Perempuan itu pun lebih melebarkan senyumnya seraya menggeleng pelan.

Tombak semakin mengerutkan alisnya. "Senyum kamu mencurigakan."

Tawa Aira pun tak terbendung saat berdiri. "Apa sih? Nggak ada apa-apa," jawabnya seraya berjalan keluar area kebun seraya membawa kantong yang berisi dedaunan kering.

"Kamu nggak sepedahan sore?"

"Kamu mau ikut aku sepedahan sore?" Aira memandang Tombak penuh semangat.

BERTEDUHWhere stories live. Discover now