19. MENGUATKAN GENGGAMAN

2.1K 359 39
                                    

Dari atas ranjang rawat, Aira duduk mengamati Andrea yang meringkuk terlelap di atas sofa panjang. Pipi kanan perempuan muda itu tertutupi perban, kondisinya nampak tak jauh berbeda dengan pria berperban yang tidur di single sofa di sampingnya. Aira yakin, dua orang tersebut pasti terluka karena alasan yang sama.

Pintu kamar rawat terbuka, nampak Tombak berdiri dan menatap lurus ke arah Aira.

"Kamu dari mana?" tanya Aira. "Aku hampir aja mau suruh suster untuk cari kamu."

Tombak berjalan mendekat, lalu tersenyum tipis dan mendaratkan kecupan lembut di pipi istrinya.

Aira pun sedikit melotot dan melirik ke arah dua orang yang masih tertidur.

Tawa kecil Tombak lolos begitu saja. "Aku dari kamar rawat Delvi."

Raut wajah Aira seketika berubah khawatir. "Gimana keadaannya? Sudah siuman?"

"Dia sudah dipindah kamar. Suster bilang, subuh tadi dia sempat sadar sebentar. Keadannya sudah jauh lebih baik sekarang. Beruntung luka tusuknya tidak mengenai organ vital."

Kekhawatiran Aira semakin nampak jelas. "Aku mau jenguk Mas Delvi."

"Setelah dokter periksa keadaan kamu dulu."

"Di mana kamar rawatnya?"

Baik Tombak dan Aira menoleh ke arah sumber suara. Andrea nampak sedikit berat untuk membuka mata saat mencoba duduk di atas sofa.

***

Dengan langkah perlahan, Aira berjalan menyusuri lorong-lorong rumah sakit untuk menjenguk Delvi. Di sampingnya, Tombak turut mengimbangi kecepatan dengan mensejajarkan langkah. Satu lengannya yang tak diamit Aira, berada di atas punggung tangan perempuan itu untuk berjaga-jaga.

"Kamu beneran kuat jalan? Nggak mau pakai kursi roda aja?"

Kekehan Aira terdengar lirih. "Aku nggak apa-apa, Tombak. Toh tadi dokter bilangnya besok aku sudah boleh pulang, kan?"

Setelah menghela napas pasrah, Tombak kembali mengarahkan pandangan ke depan.

"Andrea pasti sudah sampai di kamar rawat Mas Delvi." Aira menoleh suaminya. "Kalau Mas Gembul bangun dan nyari kita gimana?"

"Aku udah nitip pesan ke suster."

Hening menyelimuti perjalanan pasangan suami istri itu saat melewati koridor yang bersandingan dengan taman rumah sakit. Sepinya suasana di sana, membuat langkah mereka menjadi satu-satunya penghasil suara.

"Aku mau menceritakan yang sebenarnya ke Delvi."

Aira menoleh, mengamati raut wajah Tombak yang nampak sedikit lebih sendu dari sebelumnya.

"Delvi nggak seharusnya terlibat dalam hal ini." Tombak menghela napas berat. "Dia juga harus tahu kalau penyebab ini semua adalah adik sepupunya sendiri."

Tatapan Aira berubah cemas. "Kamu yakin?" tanyanya penuh hati-hati.

Tombak mengangguk. "Sejak dulu aku tak berhenti membahayakan orang-orang di sekitarku, Aira. Kalaupun aku tak dapat maaf, paling tidak mereka akan lebih menjaga diri."

Langkah Aira tiba-tiba berhenti hingga membuat Tombak berdiri dua langkah di depannya. Kedua mata perempuan itu mengembun menatap suaminya. "Jangan bicara begitu," lirih Aira.

Tatapan Tombak semakin pilu. Pria itu mendekat dan mendekap lembut Aira di dadanya.

"Kita pasti bisa melewati ini, Tombak."

"Ya." Pelukan Tombak mengerat. "Kita pasti bisa."

***

Andrea memperhatikan wajah Delvi dari dekat. Ia sungguh menanti pria itu bangun untuk melihatnya, namun hingga hampir setengah jam duduk di samping ranjang pria itu, Andrea tak memiliki keberanian untuk membuka suara.

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang