18. DI SAMPINGKU, SELAMANYA

2.7K 431 93
                                    

Kilasan cahaya yang teramat terang membuat Gembul terbangun seketika dari tidurnya. Jantungnya berdegup kencang, efek dari rasa terkejut yang ia rasakan.

"Masih jauh ya, Boy?"

Tombak menoleh sesaat. "Bentar lagi."

"Anjing," umpat Gembul. "Gue mimpi apa sih sampai kebangun gini?"

"Otak lo geser kali."

Gembul tak menanggapi, dan memilih untuk bersandar kembali. "Perasaan gue kenapa tiba-tiba nggak enak ya, Boy?"

Tak ada sahutan dari Tombak.

"Gue nggak mimpi Andrea, tapi kenapa gue kepikiran dia, ya?"

Dengkusan Tombak terdengar di dalam mobil yang melaju kencang di sore hari itu.

"Efek obat atau gimana sih ini?" Gembul mengusap perlahan perban di kepalanya.

"Efek bego karena perempuan."

Tatapan Gembul berubah sinis. "Jadi ini yang pernah lo rasain?"

Tombak hanya mengedikkan bahu.

"Asli." Gembul menghela napas. "Gue ngerasain apa yang lo rasa, Boy."

"Nggak usah khawatir. Andrea lagi pergi sama Aira."

"Berdua doang?"

Berat hati rasanya Tombak ingin mejawab. "Sama Delvi juga," ucapnya pelan.

"Tai lah si Delvi."

"Dia Abang gue, Mbul. Jaga mulut lo, kalau nggak mau gue turunin di sini."

Gembul sedikit menciut merasakan perubahan aura di dalam mobil.

"Lo telepon aja Andrea ," saran Tombak.

"Nggak hafal gue nomornya. HP gue kan di mobil." Gembul memegang baju Tombak dengan ujung telunjuk dan ibu jarinya. "Telponin Aira dong, Boy. Gue yakin lo hafal nomor bini lo sendiri."

Tombak mendecakkan lidah.

"Boy, pleaseeee."

"Anjing lo, Mbul!"

Senyum Gembul terbit ceria.

***

Pada akhirnya Tombak menepikan mobilnya di salah satu warung berdinding anyaman bambu untuk mencari alat komunikasi. Berkat kepiawaian Gembul dalam hal negosiasi, mereka mendapatkan pinjaman ponsel dari sekelompok anak yang pergi ke warung untuk mendapatkan wi-fi.

"Nih." Gembul meletakkan selembar uang seratus ribu di atas meja. "Kalau mau jajan, kalian langsung pesen aja. Nanti dibayarin sama Om yang lagi telponan di depan."

Sekelompok anak yang nampak berusia di bawah sepuluh tahun itu memandang uang yang diberikan Gembul dengan ternganga.

Setelah berkoordinasi dengan pemilik warung, Gembul berjalan menghampiri Tombak yang nampak sedikit frustasi. "Kenapa, Boy?"

"Handphone Aira mati." Tombak mengerutkan kening. "Dia jarang matiin handphonenya."

"Terus gimana, dong? Ya kali kita telepon Delvi buat ngobrol sama Andrea?"

Tombak menatap Gembul datar, lalu mengetikkan nomor yang berbeda. Panggilan tersambung, namun tak kunjung diangkat.

"Kasih kabar dulu kali ya, kalau lo yang telepon."

Lagi-lagi Tombak menuruti Gembul dengan mengirim pesan ke nomor Delvi. Tak sampai semenit pesan itu terkirim, ponsel di tangan Tombak berdering karena nomor Delvi.

BERTEDUHWhere stories live. Discover now