14. KITA TAK KEMANA-MANA

2.1K 477 56
                                    

Tombak pernah berjanji kepada dirinya sendiri. Di sisa hidup yang ia jalani bersama perempuan yang ia cintai, ia tak akan membiarkan hal-hal buruk di masa lampau terjadi lagi. Ia hanya memiliki Aira saat ini. Bagaimanapun ... dalam keadaan apapun ... ia tak mau membuat perempuan itu kembali berjumpa dengan rasa sedih.

Semua hal telah Tombak siapkan untuk masa depan yang menawarkan ketenangan dan kebahagiaan. Termasuk mengubah diri menjadi sosok yang Aira butuh dan inginkan. Ia melatih dirinya sendiri. Mengendalikan semua sifat dan sikap dari sisi gelapnya, hanya untuk mendapatkan kepercayaan Aira. Ia mencoba melunakkan hatinya, untuk menerima perasaan hebat yang bernama cinta. Tombak ingin memasuki kehidupan baru, kehidupan yang sebelumnya tak pernah ia bayangkan akan terjadi di hidupnya, dan itu hanya bersama Aira hingga akhir hayatnya.

Namun semua kepercayaan diri itu hancur kala melihat Aira menatapnya takut dan kecewa. Tombak mengingat dengan jelas tatapan itu, karena Aira pernah menatapnya dengan sorot yang sama di masa lalu. Sisi lemah Tombak kini kembali muncul dan menghantui, berkeliaran di dalam kepalanya tanpa henti. Ia takut. Ia kalut. Semua yang ia impikan, bisa jadi akan hancur dengan mudah, semudah menjentikkan jari tangan.

***

Di saat matahari belum sepenuhnya menampakkan wajah, pintu putih yang sejak berjam-jam tadi Tombak tatap itu berderit pelan dan terbuka. Tombak segera berdiri dari kursi makan, menanti dengan was-was keadaan perempuan yang ada di dalam. Tak lama kemudian Aira keluar dengan menundukkan kepala. Perempuan itu membiarkan rambut panjangnya terurai kusut di sekitar wajahnya yang tertekuk dan pucat di saat yang sama.

Tanpa menawari, Tombak menyodorkan cangkir berisi susu hangat yang mengepulkan uap tipis di atas meja. Sebuah isyarat agar Aira mau untuk duduk di hadapannya.

"Minumlah. Kalau kurang hangat, akan kubuatkan lagi," ucap Tombak penuh hati-hati.

Aira mengangkat kepala, memperlihatkan dengan jelas raut pucat dan lingkar hitam di bawah matanya. Tanpa menjawab, perempuan itu menarik kursi dan duduk di hadapan Tombak.

"Kamu nggak lanjut tidur?" Tombak memperhatikan Aira lekat-lekat setelah kembali duduk.

"Kamu kira aku bisa?"

Tombak hanya menghela napas dan menundukkan kepala.

Dengan menahan kekecewaan yang menyesakkan dadanya, Aira memperhatikan gestur pria di hadapannya.

"Kamu sendiri yang meminta kita untuk melupakan masa lalu masing-masing, Tombak." Aira menarik napas dalam-dalam seraya menahan isakan. "Lalu apa ini? Kenapa Tombak yang dulu harus hadir lagi? Kenapa janji yang kita buat harus kamu langgar seperti ini?"

Kedua mata Tombak terpejam sesaat. "Maaf, Aira. Aku terjebak."

"Terjebak apa? Apa yang nggak aku ketahui?"

Susah payah Tombak menarik napas dalam-dalam. "Aku pemimpin organisasi."

Kedua pupil mata Aira melebar. Perempuan itu menyandarkan punggungnya dengan lemah, menatap Tombak tak percaya. "Apa ini lelucon?" tanyanya lirih.

Tombak menggeleng, lalu memberanikan diri menatap Aira lagi. "Aku menggantikan mantan Bosku yang sudah meninggal, Ra."

"Andrea tahu ini?" Entah mengapa Aira gatal untuk menanyakannya.

"Semua orang yang terlibat, mengetahui hal ini."

"Dan karena aku nggak terlibat, kamu merasa nggak perlu untuk kasih tahu aku?" Nada bicara Aira terdengar bergetar. "Kamu biarkan aku nggak tahu, dan tenggelam dalam asumsi yang kuciptakan sendiri waktu kamu nggak ada di sini?"

Pandangan Tombak meredup. "Bukan begitu maksud-"

"Apa proyek di Bandung hanya sebuah topeng?" sela Aira. Napasnya sudah memburu saat ini. "Kamu sering ninggalin aku sendirian di sini, karena sebenarnya kamu sedang dipuja karena jadi pemimpin dengan organisasi kamu. Gitu?"

BERTEDUHWhere stories live. Discover now