9. MERASA BERSALAH

2.5K 536 52
                                    

Seperti biasa, suasana bar kecil di pinggir kota Jakarta itu selalu nampak sepi pengunjung. Hanya terdapat segelintir orang yang bercengkerama seraya menikmati minuman di atas meja-meja yang tersedia di sana. Mereka semua tampak membawa teman, hanya Tombak yang duduk sendirian. Isi gelas bir yang ada di hadapannya sudah kurang dari setengah, namun sedari tadi Tombak lebih memilih memandang benda itu daripada menikmati suasana yang tersaji di sekitarnya.

Sebuah tepukan di bahunya membuat Tombak menoleh, nampak Bram dan Gembul berdiri berdampingan di belakangnya.

"Dia mau ketemu lo," ucap Bram.

"Hm."

Gembul duduk di samping Tombak seraya memandang kepergian Bram dengan heran. "Lo emang nyuruh Bram sama yang lain nunggu di luar atau gimana?"

"Sebenarnya gue mau ke sini sendirian." Tombak menatap Gembul. "Tapi karena sekarang mereka harus ikut gue kemana-mana, ya jadinya gini."

Tatapan Gembul berubah simpati.

"Lo ngapain ke sini?"

"Yeee... emang lo doang yang boleh ke sini?" Gembul memanggil bartender dan memberi isyarat untuk memberikannya minuman. "Bar ini langganan gue juga kali. Kebetulan aja tadi gue ketemu Bram sama yang lain di luar."

Tombak menenggak minumannya, suasana di antara kedua sahabat itu pun berubah hening.

"Lagi ada apa sih, Boy?" tanya Gembul seraya meletakkan gelasnya. "Kenapa penjagaan lebih diperketat lagi?"

"Tadi siang Arthur ngabarin kalau Bos kembali kritis." Tombak menghela napas panjang. "Di sisi lain, semakin banyak organisasi luar yang bau-baunya mau ngajak ribut."

"Ngajak ribut? Kenapa?"

"Isu pergantian kepemimpinan sebuah organisasi bisa jadi celah mereka untuk hancurin organisasi itu, Mbul." Tombak kembali menenggak isi gelasnya. "Udah hal biasa."

Kedua alis Gembul menaut samar. "Oh iya, gue inget lo pernah ngomongin ini."

"Dulu, Bos adalah salah satu pemimpin yang sering ngusik organisasi yang lagi lemah. Nggak heran kalau sekarang organisasi kita kena imbasnya."

"Oh my, God. Karma is real."

Bukannya menyetujui perkataan temannya, Tombak malah terkekeh dan menepuk bagian belakang kepala Gembul.

"Aduh apaan sih anjing?" protes Gembul seraya memegang bagian kepalanya.

Tombak masih terkekeh saat menandaskan birnya.

"Lo kangen sama gue, kan?"

Tak ada jawaban dari Tombak.

"Iya. Fix. Lo kangen sama gue."

"Gue tonjok lo ya! Jijik tau!"

Tepat setelah itu, seorang pria menghampiri Tombak dan Gembul dengan tergesa.

"Bang Tombak! Kita harus pergi sekarang, Bang! Di luar anak-anak dapat serangan."

"Lagi?" Suara Tombak sarat menyiratkan emosi.

"Iya, Bang. Kita lewat pintu belakang, sudah ada mobil yang stand by di sana."

Tombak berdiri, namun berjalan ke arah berlainan.

"Bang Tombak!"

"Boy!"

Panggilan anak buahnya dan Gembul pun tak dihiraukan Tombak. Pria itu tetap berjalan dengan langkah lebar penuh emosi menuju pintu utama bar.

***

Aira membuka mata dengan napas terengah. Butuh beberapa detik baginya untuk menyadari bahwa ia berada sendirian di dalam kamarnya, bukan lagi padang savana luas berbau anyir yang dipenuhi potongan tubuh manusia. Seraya menenangkan diri dan mengatur napasnya, Aira beringsut duduk untuk memijat kepalanya.

BERTEDUHWhere stories live. Discover now