17. BADAI YANG MENERJANG

1.9K 395 40
                                    

Puluhan bebek yang berjalan berkelompok di pinggir jalan, menarik perhatian Gembul yang sedang merokok dan bersandar di pintu mobil. Seorang pria tua yang berjalan di belakang bebek-bebek itu pun mengangguk kecil memberi sapa.

Gembul membalasnya, lalu kembali menikmati pemandangan sawah pagi hari yang terbentang di sisi kanan dan kirinya. Ia berada di Pasuruan, sebuah kota yang berada tak jauh dari Batu. Di jalan kecil beraspal yang ia pijaki saat ini, Gembul menunggu utusan organisasi lain yang akan menyerahkan angsuran hutang. Tugas ini cukup mudah karena ia tak harus berhadapan dengan orang-orang yang mengharuskannya beradu senjata. Sejak dulu ia pun juga selalu melakukan tugas ini sendirian walau memiliki Tombak sebagai partner bertugasnya.

Rokok Gembul sudah mencapai ujung. Ia menghisapnya untuk yang terakhir kali sebelum mematikan bara dengan cara menginjaknya.

"Makasih, Ndre. Gue yang lebih butuh rokok lo," ucapnya kemudian.

Sudut bibir Gembul terangkat. Ia seolah bisa membayangkan betapa uring-uringannya Andrea saat menyadari bungkus rokok di laci dapurnya telah hilang entah ke mana.

Ah, Andrea. Memikirkan perempuan itu membuat Gembul kembali merasa tak berdaya.

"Kalau bisa gue cekek, gue cekek lo, Ndre." Gembul menghela napas dan menghadap sawah yang membentang hijau. "Kurang ajar bener lo giniin gue."

Entah apa yang akan terjadi ke depan. Namun satu hal yang pasti, Gembul pasti akan menyempatkan diri untuk bermabuk ria menghibur suasana hatinya yang sedih. Terserah dengan siapa saja nanti.

Deru mesin mobil terdengar dari kejauhan. Gembul tak pernah melihat mobil itu selama ia menjalankan tugas yang sama dengan organisasi yang sama pula. Kecurigaan Gembul mulai hadir, terlebih ketika terdapat mobil lain yang menyusul di belakangnya. Dengan cepat ia meraih pistol yang berada di bawah dashboard mobil, dan menyembunyikannya di belakang celana.

Empat pria turun bersamaan dari jeep hitam yang berhenti di depan. Tak ada satupun yang Gembul kenali dari orang-orang plontos berbadan kekar itu. Sebisa mungkin ia tetap tenang berdiri di samping pintu mobilnya.

"Ikut kami," ucap salah satu di antara empat pria itu.

"Kalian siapa? F4 cabang kampung Durian Runtuh?" Gembul mendapati satu orang turun dari mobil belakang.

"Lo nurut aja." Pria plontos yang berdiri paling belakang membuka bagian depan jaket kulitnya untuk memperlihatkan pistol yang ia bawa. "Jangan buat kami memaksa."

Tawa remeh Gembul meluncur begitu saja. "Gue juga punya. Kalau kalian mau adu tembak dan jadi tontonan warga sekitar sih nggak apa-apa."

Pria yang paling dekat dengan Gembul bergerak cepat untuk melayangkan tinju. Gembul menghindar, dan berhasil membalas pria itu dengan bogeman mentah di wajah. Ia baru saja akan menarik pistolnya, sebelum dua orang yang lain menendang wajah dan perutnya secara bersama.

Gembul terjatuh ke belakang. Saat akan berdiri, kaki pria pemilik pistol menginjak dadanya kuat-kuat hingga mau tak mau ia harus kembali terlentang di atas tanah.

"Lo hanya perlu kooperatif," ucap pria yang menginjak Gembul.

"Apa yang lo mau?"

"Hanya beberapa informasi."

Dua orang menarik Gembul hingga berdiri saat ia tak lagi diinjak. Seseorang lagi mengambil pistolnya, dan mengikat tangannya ke belakang dengan tiga buah ikat kabel. Selah itu dengan kasar, Gembul didorong untuk masuk ke mobil belakang.

***

Beberapa menit telah berlalu ketika Andrea duduk diam di sudut ranjang menatap jendela kamarnya. Sejak kepergian Gembul tadi, ia tak bisa melanjutkan tidurnya dengan tenang. Ia selalu terbangun sekitar sepuluh menit sekali. Tak peduli seberapa lelah tubuhnya ingin beristirahat, kedua matanya selalu terbuka secara tiba-tiba diiringi degupan jantung yang kencang.

BERTEDUHWhere stories live. Discover now