20. UNTUK BISA BERSAMA

1.8K 319 46
                                    

Dari single sofa, Tombak menatap setiap inchi gerakan Aira dengan seksama. Cahaya matahari pagi yang masuk lewat jendela, nampak melembutkan sekaligus menghangatkan sekeliling perempuan yang sedang menyisir rambut di atas ranjang rawat tersebut. Tak sedetik pun terlintas di benak Tombak untuk melewatkan pemandangan ini. Kedua matanya yang terbiasa menyorot tajam, mau tak mau tunduk menjadi sendu karena begitu terbuai dengan gerak-gerik sosok yang paling berarti di hidupnya tersebut.

"Kaya'nya kalau perutku udah besar nanti, aku bakal potong rambut jadi pendek banget, deh." Aira meletakkan cermin dan sisir di samping kanan kirinya. "Nggak apa-apa kan kalau aku potong pixie?"

"Itu rambut kamu. Terserah kamu."

"Kamu nggak bakal ilfeel, kan?"

Sudut bibir Tombak berkedut. Pria itu menggeleng pelan.

"Kalau gundul bagimana?"

Kening Tombak sedikit mengerut, membuat Aira terkikik di tempatnya.

"Ayo pulang," ucap Aira seraya turun dari ranjang. "Aku kangen kebunku."

Tombak berdiri, meraih langkah mendekati Aira dengan pasti. Tanpa berkata apa-apa, pria itu mendekap lembut istrinya.

Aira menarik napas dalam-dalam sebelum melingkarkan kedua tangan di pinggang suaminya. "Ada yang sedang kamu pikirkan, ya?" tanya Aira.

"Hm."

"Apa?"

"Setelah ikut aku nanti, kamu nggak akan bisa berkebun untuk sementara."

Kekehan Aira teredam di pundak Tombak. "Kenapa?"

"Apartemen Gembul nggak punya banyak ruang untuk tanaman."

Aira mengeratkan pelukan, menghirup dalam-dalam aroma khas Tombak untuk mencari kenyamanan. "Nggak, pasti bukan itu."

Tak ada sahutan. Di ruang rawat inap yang luas itu, hanya terdengar detik jam dinding serta hembusan napas Tombak di telinga Aira.

"Apapun itu, jangan dipikirkan terlalu dalam," ucap Aira. "Kalau kamu sendiri kesulitan, kita nggak akan bisa saling menguatkan."

Tombak melepas pelukan, lalu mengecup bibir Aira penuh kelembutan. "Asal kamu selalu di sampingku, aku nggak akan pernah kesulitan."

"Yang barusan ini gombal atau gimana, ya?"

Lagi-lagi Tombak mendaratkan kecupannya, namun kali ini dengan penuh gemas dan lebih lama. "Ayo pulang," ucapnya seraya merapatkan jari di sela jemari Aira.

Aira tertawa, lalu mengikuti ke mana pun sang suami menuntun langkahnya.

***

Entah sudah berapa detik Gembul tak berkedip memandang bunga kuning kecil di depannya. Yang jelas, kesadarannya langsung terkumpul saat seorang dokter dan seorang perawat keluar dari pintu ruang rawat tak jauh dari tempatnya berdiri.

Tanpa membuang waktu, Gembul berjalan masuk dengan cepat ke dalam ruang rawat tersebut. Paling tidak, di sisa waktunya yang tak banyak di rumah sakit ini, ia bisa mengandalkan orang yang akan ia temui agar bisa melakukan permintaannya untuk pertama dan terakhir kali.

Sosok laki-laki yang tengah berbaring di atas ranjang rawat, membuka mata menatap Gembul yang masuk tanpa permisi.

"Oi, Del," sapa Gembul sedikit kikuk.

Delvi mengerutkan keningnya. "Gembul? Kok bisa ada di sini?" tanyanya lirih.

Gembul mendekat seraya tertawa sungkan. "Sorry. Gue ganggu istirahat lo, ya?"

BERTEDUHWhere stories live. Discover now