12. PANTASKAH KITA?

1.8K 405 36
                                    

Berkawan baik dan menghabiskan banyak waktu dengan Andrea, sebenarnya sudah menjadi rencana Aira sejak pertama kali bertemu dengan perempuan yang lebih muda darinya itu. Hanya saja, ia sempat kehilangan kepercayaan diri karena perangai Andrea dan sedikit asumsi asal tentang hubungan perempuan itu dengan suaminya, Tombak. Setelah semua hal terbukti salah dan terlewati atas proses pendekatannya sendiri, Aira pun tak segan untuk mengambil langkah terlebih dulu merangkul Andrea, bahkan menganggapnya sebagai adik yang tak pernah ia miliki sebelumnya.

Seperti saat ini ...

"Apa ini, Kak?"

Aira tersenyum senang melihat ekspresi terkejut Andrea. "Aku kemarin jalan-jalan di toko pecah belah. Waktu lihat itu, aku langsung kepikiran kamu."

Andrea memperhatikan baik-baik cangkir berhiaskan lukisan gunung yang ada di genggamannya. "Jadi ini untukku?"

"Iya. Gimana? Suka, nggak?"

"Kenapa gunung? Aku bahkan nggak pernah naik gunung sama sekali."

Tawa Aira mengalun di dapur rumah Andrea, tempat di mana ia sering menghabiskan waktu berjam-jam di sana. "Kamu seperti gunung, Ndre. Belum-belum bikin nyerah karena tingginya. Tapi setelah sampai puncak, orang nggak akan menyesal karena pemandangannya."

Kening Andrea sedikit mengerut mendengarnya. "Aku masih nggak paham korelasinya. Tapi aku suka kok sama cangkirnya. Unik. Makasih, Kak"

Aira mengangguk senang.

"Hari ini kita jalan-jalan lagi?" tanya Andrea seraya menyimpan cangkir di rak.

"Ke restoran Mas Delvi, yuk? Makan siang di sana."

Tanpa pertimbangan, Andrea pun menganggukkan kepala.

.

.

Delvi tak segan menyunggingkan senyum lebar nan bahagia saat melihat siapa yang berjalan mendekati meja barnya. Pria itu pun meletakkan serbet dan mencondongkan tubuh ke arah meja. "Hai," sapanya ringan.

"Ada menu yang rekomen untuk makan siang?"

"Ada, dong." Delvi beralih menatap Andrea yang berdiri di samping Aira. "Kebetulan ada menu spesial khusus hari ini."

"Sup iga?" tanya Andrea datar.

Delvi menggeleng. "Menu spesial ini punya tingkatan yang jauuuuh lebih spesial dan enak dari itu. Kalian tunggu aja di meja, lima belas menit lagi dua porsi menu spesial akan tersaji di sana."

***

Gembul sempat berdiam diri selama beberapa detik sesaat setelah menutup pintu. Ia memperhatikan sejenak pria yang tengah berbaring memejamkan mata di atas sofa.

"Tumben nih orang tidur siang?" gumamnya seraya mendekat.

"Gue nggak tidur."

Kedua mata Gembul melebar. "Lo sakit, Boy?"

Tombak menggeleng, lalu menumpukan satu lengan di atas kepalanya.

"Lagi bertapa lo?" Gembul duduk di salah satu single sofa.

"Lo dari pada nanya mulu, mending kasih gue laporan pembagian senjata, Mbul."

Gembul nampak berpikir sejenak. "Aman, sih. Ada beberapa anak yang minta lebih karena tambahan tugas. Udah gue aturin semua."

Tombak tak menyahut, hanya mengubah posisi menghadap sandaran sofa.

"Malam nanti gue tunggu di apartemen."

Tanpa Gembul sadari, Tombak membuka matanya.

"Ada sesuatu yang mau gue kasih lihat."

"Hm."

BERTEDUHTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang