13. KHAYALAN SAJA?

2.1K 441 60
                                    

"Anjing! Bangsat!"

Tombak hanya terengah memperhatikan Bram yang baru saja mengumpat seraya memukul dinding sebuah bangunan. Saat ini keduanya berada di sebuah gang sempit yang gelap setelah berlari cukup jauh dari diskotik.

"Apa maksudnya ini?" gumam Bram seraya mengepalkan tangan kuat-kuat.

"Lo lihat pelakunya?"

Bram menggeleng.

Tombak melepas jas abu-abu yang dihiasi bercak darah. "Hubungi Gembul," ucapnya seraya membuang jas itu ke tong sampah.

Saat Bram mengeluarkan ponsel, Tombak menahannya.

"Matiin hp lo. Hubungi Gembul dengan cara lain."

"Kenapa?"

"Matiin."

Nada bicara dan tatapan Tombak membuat Bram melaksanakan perintah tanpa bertanya lagi.

***

Di depan sebuah minimarket 24 jam, Tombak duduk di sebuah kursi dengan ditemani sebungkus rokok dan kopi kalengan. Ia membunuh waktu dengan memperhatikan laju kendaraan di jalanan lengang di hadapannya. Menunggu Bram yang telah pergi lima belas menit lalu untuk mencari cara, bagaimana menghubungi Gembul agar bisa menjemput mereka.

Angin malam berhembus semilir, menyejukkan Tombak yang kini mengenakan atasan kemeja hitam. Pria itu melepas dua kancing teratas kemejanya, lalu melipat bagian lengan. Ia benar-benar merasa begitu membutuhkan angin untuk mendinginkan tubuh serta pikirannya.

Sebuah mobil putih yang memasuki halaman parkir minimarket tersebut menarik perhatian Tombak. Jika seseorang yang muncul dari sana membahayakan dirinya, Tombak siap untuk menarik pistol dari belakang tubuhnya. Beberapa detik berlalu, Tombak bisa bernapas lega karena penumpang mobil itu adalah sebuah keluarga kecil yang nampak bahagia. Seorang pria turun dan masuk ke dalam minimarket, menyisakan seorang perempuan di kursi penumpang depan, dan dua anak kecil di bangku belakang.

Tombak meraih bungkus rokok dan menyelipkan satu batang di bibirnya. Saat akan menyalakan api, kedua matanya tak sengaja menangkap tatapan mengantuk dari anak yang duduk di bangku belakang. Entah mengapa walau kedua matanya nampak sayu, anak perempuan itu terus menatapnya tanpa kedip dari balik jendela. Tiba-tiba saja, Tombak diselimuti sedikit perasaan bersalah tanpa tahu dengan pasti apa penyebabnya.

"Tom!"

Panggilan itu membuat perhatian Tombak teralihkan. Sebuah mobil hitam di pinggir jalan yang berisikan Gembul dan Bram di bangku depan, membuatnya bergegas pergi meninggalkan rokok dan minumannya begitu saja.

"Handphone lo masih mati kan, Boy?" tanya Gembul setelah Tombak menutup pintu.

"Hm. Dari kemarin lusa."

"Sip." Gembul menekan gas, dan menjalan mobil.

Bram menoleh Gembul dan Tombak bergantian. "Ada sesuatu yang gue nggak tahu?" tanyanya.

Dari spion di atasnya, Gembul melirik Tombak. "Lo yang ngomong atau gue nih, Boy?"

Tombak menyamankan sandarannya. "Gue capek, Mbul. Lo aja," ucapnya seraya memejamkan mata.

Gembul mulai menambah kecepatan mobilnya. "Sebenarnya ini agak sensitif sih, Bram. Tapi nggak mungkin juga nutupin ini semua dari lo sekarang."

Dengan seksama Bram mendengarkan Gembul di sampingnya.

"Arthur berencana untuk singkirin Tombak."

Kedua mata Bram melebar. "Bang Arthur?"

Gembul mengangguk. "Arthur. Anak almarhum Bos. Atasan lo. Temen baik Rusdan."

BERTEDUHWhere stories live. Discover now