16. MASA DEPAN YANG FANA

2.3K 427 85
                                    

Potongan daging yang terendam kuah hitam hangat nan beraroma sedap di hadapan Aira tak membuat selera makannya bertambah dari tadi. Justru sebaliknya, ia harus menahan napas tiap kali mengunyah dan menelan setiap sendokan, agar tak semakin membuatnya mual karena aroma rempah yang menguar.

Alhasil, belum sampai makanan di dalam mangkok tandas, Aira menggeser porselen putih itu ke samping sebagai ungkapan 'cukup, aku tak tahan lagi'.

"Nggak enak, ya?"

Aira menggeleng. Tombak yang sedari tadi menunggunya makan, menatapnya dengan sorot bertanya-tanya. Wajar, karena rawon adalah salsh satu makanan kesukaan Aira.

"Mau makan yang lain?"

"Nggak, Tombak. Cukup. Aku kenyang."

Tombak terdiam sesaat, sebelum meraih mangkok tersebut dan berjalan menuju konter cuci piring. Tak lama kemudian, segelas air mineral ia letakkan di hadapan Aira.

"Jadi bagaimana?" tanya Aira.

"Minum dulu." Pria itu kembali duduk di kursinya.

Dengan segera Aira menghabiskan isi gelas di hadapannya. "Aku siap," ucapnya setelah bersendawa.

Senyum geli Tombak pun terbit. Ia mengusap bekas air yang menetes di dagu istrinya. "Apapun yang kamu dengar nanti, tolong cerna baik-baik. Akan kuceritakan semuanya."

Aira mengangguk sekali.

"Almarhum Bosku memiliki tiga orang anak. Dua laki-laki, dan Andrea si bungsu."

Sorot mata serius Aira sedikit nampak tak berminat karena mendengar Tombak menyebut nama Andrea sejak di awal cerita.

"Saat dalam keadaan kritis karena serangan misterius di rumahnya, beliau berpesan agar aku menggantikannya sebagai pemimpin organisasi untuk sementara. Namun kemudian beliau meninggal, dan aku masih menggantikan tugas beliau setelah itu."

"Kenapa harus kamu? Dia punya tiga orang anak dan banyak anak buah, kan?" Aira tak bisa mengontrol nada bicaranya yang jelas terdengar kesal.

"Hanya dua, karena Andrea tak bisa dimasukkan dalam hitungan. Sejak kecil, Andrea tak pernah dilibatkan dalam urusan organisaai." Tombak menarik napas sebelum melanjutkan. "Kenapa aku? Karena beliau mempercayaiku. Beliau memohon padaku, dan aku merasa berhutang budi."

Tombak meremas lembut tangan Aira yang berada di atas meja. "Kita tidak akan sampai di titik ini jika beliau tak menyelamatkan kita."

Tiba-tiba Aira nampak murung karena secuil rasa bersalah yang berkelebat di hatinya.

"Organisasi sepenuhnya di bawah kepemimpinanku setelah beliau meninggal. Semua berjalan lancar pada awalnya, namun mulai tak kondusif saat kedua kakak Andrea ternyata mengincar posisiku. Mereka menggila."

"Apa mereka berusaha menyakiti kamu?"

Sorot khawatir yang terpancar di mata lembut Aira berhasil melemahkan diri Tombak. Pria itu tersenyum, berusaha tak membuat khawatir istrinya.

"Mereka tak tahu dengan siapa mereka mencari masalah."

Aira menghela napas lega dan mengusap punggung tangan suaminya. "Aku mohon kamu selalu berhati-hati."

Tombak mengangguk, lalu menunduk. "Aku ingin kita selalu bersama."

Keheningan menyelimuti meja makan itu untuk beberapa saat.

"Kamu harus pergi lagi, ya?" Aira memecah keheningan dengan pertanyaan getirnya.

"Gembul menyarankan aku untuk bersembunyi hingga keadaan menjadi kondusif. Aku nggak mau melibatkan kamu dalam hal ini."

BERTEDUHWhere stories live. Discover now