2. Diikuti?

1.9K 75 0
                                    

Hoaamm

Sudah ketiga kalinya perempuan itu menguap, kepalanya tergeletak di atas meja sebuah taman. Dia ditemani oleh seorang perempuan bermata sipit yang sedang mengoleskan lipstik berwarna merah marun di bibirnya. Jaket kulit hitam bergaya vintage membalut kulit kuning langsatnya dan sepatu boots hitam setinggi mata kaki bertengger di sepasang kaki menambah kesan garang pada dirinya. Sesekali sepasang mata segarisnya itu melirik ke arah gadis disampingnya.

"Aih, kalo Aku jadi kamu, udah aku patahkan tangan preman itu. Kenapa mereka terus-terusan minta tanah panti dijual? Memangnya tanah di negara ini sudah habis apa?" gerutu wanita berlipstik merah sembari menempelkan kedua bibir untuk meratakan warna lipstik.

"Entahlah. Rumornya tanah itu akan dibeli oleh seorang pengusaha untuk dijadikan pusat kawasan industri dan hiburan." Gumam perempuan itu dengan mata yang masih terpejam.

Angin sore seraya mengelus kepalanya yang terasa berat. Tenaganya terkuras habis dini hari tadi karena kerusuhan di panti. Terlebih dia harus membantu pemakaman seorang laki-laki yang terkenal sebagai preman bengis di daerah itu.

Perempuan di sampingnya mengangguk, matanya menatap bayangan dirinya di cermin. Jemarinya masih berkutik di area bibir menambah olesan lipstik. "Lalu anak itu? Aku penasaran dengan keadaannya. Kira-kira apa yang dia rasakan pertama kali? Sedih? Histeris? Atau marah?"

Napas Raline tertahan. Dia mengingat kembali keadaan bocah itu saat ia hendak pergi. Ia memang tak bicara banyak dengan Bagas saat itu, tetapi dia mampu membaca setiap emosi yang Bagas rasakan. Bagas bukan tipe anak yang suka menangis atau merengek kepada orang dewasa saat sesuatu yang buruk terjadi. Ia lebih suka berdiam diri di tempat yang sepi.

"Bagas.. ayahmu akan segera dimakamkan." Ucap Raline sembari menatap anak kecil berusia enam tahun yang tengah duduk dengan lutut terkekuk di depan dadanya. Terlihat baju yang dipakainya sudah berganti. Dia memakai baju koko berwarna hijau. Warna favoritnya. Raline ingat betul, baju itu adalah hadiah dari Bahrudin, Ayah Bagas. Kala itu, Bagas berhasil memenangkan lomba lukis yang diadakan oleh panti. Bahrudin benar-benar terharu, ia tak menyangka anaknya punya bakat seni yang mengagumkan.

"Ka Raline.." panggil Bagas, membuyarkan lamunannya.

Raline menyejajarkan posisinya dengan bagas, dia berjongkok agar manik matanya bisa menangkap sepasang manik mata kecil di depannya.

"Hm?" gumamnya.

Bagas menatap kosong ke depan "Apakah normal jika aku menyalahkan diri sendiri? Apakah kakak dulu merasakan hal yang sama saat berada di posisiku?"

Gadis berkuncir kuda itu mengalihkan tatapannya. Dia tidak menjawab. Bukan karena pertanyaan itu tak punya jawaban. Bukan maksud Raline untuk mengelak, tapi jawaban dari pertanyaan itu terlalu kejam baginya. Pertanyaan itu seolah menampar dirinya yang dulu, dirinya yang sama dengan Bagas saat ini. Dirinya dimasa kelam, dirinya yang begitu rapuh saat melihat kedua orang tuanya pergi untuk selama-lamanya.

Ia tak tahu dari cerita siapa Bagas menemukan kerapuhan dirinya. Ia tak pernah bercerita kepada siapapun tentang masa kelamnya. Bahkan Imran, orang yang menemukan Raline tengah mencoba mengakhiri hidupnya saja tak mengetahui cerita itu. Tidak ada sebab untuk Bagas bisa mengetahui hal tersebut. Kecuali dia lupa bahwa Bagas bukan anak biasa.

Bagas menarik napas dalam. Matanya menerawang jauh ke depan "Takdir selalu kejam bagi semua orang. Benar kan Ka?"

Raline tercekat. Napasnya tertahan di kerongkongan. Matanya terpaku pada tatapan polos anak itu. Untuk beberapa alasan, anak itu berhasil membekukan lidahnya. Bahkan, pita suaranya pun enggan bergetar. Senyum kecut tercetak jelas di bibir Raline, ia tak percaya anak kecil berusia enam tahun itu mengatakan hal yang tidak seharusnya diucapkan oleh anak sepantarannya.

If Something Happens I Love YouWhere stories live. Discover now