39. Pamit

389 20 0
                                    

Lelaki  berlari terpincang-pincang menembus temaram cahaya lampu. Sembari menyeret salah satu kakinya, laki-laki berbusana serba hitam lengkap dengan masker kain yang membalut separuh wajahnya itu masuk ke dalam mobil sedan bewarna putih.

Dia mengatur napas setelah berhasil memapankan bokongnya di kursi penumpang.

"Beres, Tuan." Katanya pada seorang pria tampan di kursi pengemudi.

Pria itu menarik salah satu sudut bibirnya. 

"Well done." Jawab pria itu tanpa menoleh pada laki-laki di kursi penumpang.

Laki-laki yang baru melepas maskernya tersenyum bangga melihat pria berkaca mata hitam itu puas dengan pekerjaannya.

"Hmm lebih baik aku tunggu dia datang ke rumah atau kujemput saja ke rumah sakit? Mana yang lebih baik menurutmu?" 

Pria itu menoleh menunjukan senyum lebarnya.

"Tentu lebih baik menunggu. Wanita itu pasti akan datang dengan sendirinya dan menjadi milikmu." 

Dahi pria di belakang kemudi berkerut dalam. Dia melihat orang disampingnya tidak suka.

Laki-laki itu menjadi gelisah. tatapan pria bernama Gavin di sampingnya membuat bulu kuduknya berdiri tegak.

Gavin mendengus. Digenggamnya sebuah benda hitam dengan moncong berlubang yang sudah bertengger di tangan kanannya sedari tadi.

Krek

Laki-laki itu meneguk ludahnya saat melihat sebuah pistol semi otomatis menodong ke arahnya. 

Keringat dingin mengucur menjelajahi pelipis. Gavin telah menarik penutup geser ke belakang hanya dengan ibu jarinya. Sekarang peluru di dalam sana siap menghantam isi kepala pemuda itu.

"Salah." 

 Ia menatap pemuda yang bergetar ketakutan dengan seringai iblisnya "Aku akan menjemput permaisuri ku ke rumah sakit. Karena jawabanmu tidak benar. Kau harus dihukum."

"Tidak!" 

Pemuda itu belingsatan ke belakang mencari hendel pintu mobi, tapi...

Dor!

Peluru panas telah menghantam kepalnya lebih dulu.

"Ups. Sorry. Aku tidak tahan ingin membunuhmu."

Senyum miring menyertai kalimatnya. Dengan mudahnya, dia menarik pelatuk dan menghancurkan isi kepala pemuda di sebelahnya.

Tangan Gavin terlihat merogoh saku dalam jas mililknya. Ia mengambil ponsel lalu jemarinya dengan lincah mengetikan sesuatu di atas keyboard.

Send

Gavin tersenyum puas melihat sebuah foto seorang wanita dengan senyum mengembang melihat kamera.

"Raline, I'm coming..."

***

Dalam ruangan yang didominasi cat putih itu, Raline terduduk sembari menatap layu seorang laki-laki yang terbaring lemah diatas bangsal rumah sakit. Ketakutan perempuan itu menjadi nyata. Hatinya terjerat rasa bersalah yang begitu membelenggu. Orang terkasihnya lagi-lagi harus merasakan sakit karenanya.

Setelah ditangani oleh tenaga medis, Ranu masih belum membuka matanya. Laki-laki itu kehilangan banyak darah sebab tikaman di perutnya merobek pembuluh besar. Beruntung, Raline segera menelpon ambulan sehingga Ranu bisa mendapatkan pertolongan tepat waktu. Jika tidak, Raline tidak akan bisa membayangkan hidupnya setelah ini.

Raline menggenggam tangan besar yang terjerat selang infus. 

"Maaf. Aku hampir membunuhmu lagi... Nyawamu menjadi terancam karenaku."

If Something Happens I Love YouWhere stories live. Discover now