Fiveteen

1.2K 124 14
                                    

Hari-hari mereka berjalan seperti biasa. Audi sering mengajak Kennat ke laundry, Safitri semakin rajin dan Diaz. Entahlah pemuda itu sibuk sendiri, katanya punya usaha lain tapi Audi jadi tidak yakin. Diaz sering senyum sendiri lalu membawa motor jelek untuk di parkirkan, anak itu seperti punya misi terselubung.

“Thomas udah gak gangguin lo kan?”
Safitri kaget ditanya begitu. Ia terlonjak dan menjatuhkan bolpoin.

“Enggak. Dia mungkin udah kapok di kerubungi warga.” Jawabnya dengan suara lirih seolah ada nada kecewa di dalamnya. Sejak insiden itu Thomas jarang terlihat, mungkin pria itu mengawasinya melalui suatu tempat namun tebakan Safitri sepertinya hanya harapan hatinya.

“Audi nanti ken boleh mandi di sini? Di sini wangi.” Audi memutar bola matanya dengan malas. Jelas wangi ini kan laundry. Dari pada terus memikirkan Kennat lebih baik mengerjakan tugas kuliahnya namun baru mengeluarkan buku tiba-tiba Kenant jatuh seperti adegan tertembak. Audi mengacuhkannya karena Kenant sering begitu berpura-pura menjadi tentara atau berpura-pura menjadi pahlawan yang mati di medan perang.

“Itu Ken kenapa?” Safitri malah yang khawatir ketika melihat Kenant memegang kepalanya.

“Dia biasa begitu.” Tapi semuanya bertambah semakin rumit ketika Kenant berteriak kesakitan sambil menggunammkan jika sakit kepala. Audi langsung berdiri menghampiri, mengecek apakah Kenant berpura-pura atau sakit beneran namun ia terlambat. Kenant sudah tergeletak tak sadarkan diri, suaminya itu pingsan.

🦊🦊🦊🦊🦊🦊🦊🦊🦊🦊

“sel kankernya menekan otak besarnya. Otak kecilnya juga perlahan menyusut.”
Apa yang dokter katakan itu bagai badai besar yang menyerang hati Audi. Inggrita juga ada di sana, bersikap tenang layaknya ini bukan sebuah bom atom kehidupan.

“Bisa diobati kan?”

“Obat hanya memperpanjang usia Kenant tapi tingkat kesempbuhannya sangat kecil.” Inggrita menghembuskan nafas lelah, Ibu mertua Audi menunduk lesu. Ini kabar yang buruk walau ia sudah biasa mendengarnya.

“lakukan saja yang terbaik. Soal biaya tidak jadi masalah.”

Ini yang membuat AUDI BINGUNG DAN MERASA TAK SUKA. Inggrita seolah tak peduli, ia lebih mementingkan materi. Bukannya jika Kenant menderita suatu penyakit harusnya Inggrita malah lebih perhatian.

Setelah itu keduanya membisu. Audi masih terkejut, bingung harus menanyakan apa. Air matanya seolah mau terjun menghadapi dilema ini. Audi peduli pada sang suami, menyayanginya juga. Kenapa pria sebaik Kenant harus mendapatkan cobaan sebesar ini.

“Kenant sudah lama menderita penyakit ini kan?”

“Yah dua tahun belakangan ini.”

“Kenapa aku tidak menemukan obat di rumah pondok.”

“Sel itu mulanya berhasil ditekan. Mamah pikir kedatangan kamu membuat Kennat bahagia dan sembuh, nyatanya sel itu perlahan tetap berkembang. Kenant juga tak mau mengkonsumsi obatnya, sering membuangnya juga.”

“Pernikahan kami memang disengaja. Mamah seolah tahu kalau nyawa Kenant bisa terancam sewaktu-waktu?”

“Ini kenyataan yang mamah berusaha terima juga,” jawab Inggrita setenang mungkin. Tak mungkin merasa panik dan selalu khawatir. Siapa nanti yang mengurus anaknya yang lain, mengurus perusahaan, mengurus Eva yang cacat.

“Kamu ada untuk mengamankan warisan Kenant. Mamah tidak mau Cuma Bryan yang berkuasa secara mutlak.”

“Kenapa? Bryan anak mamah juga.”
Inggrita memejamkan mata sejenak, seolah hendak meluapkan sesuatu. Emosi wanita ini kadang tak terbaca, bagai air tenang yang menghanyutkan.

my idiot boysWhere stories live. Discover now