Bab 22

873 145 4
                                    

Ketika Kenant diajak ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan Audi, pria itu terlihat bersemangat walau masih seperti sebelumnya. Kenant tak berdaya di kursi roda, Audi dibantu seorang pelayan untuk membawa Kenant. Kapan suaminya akan sehat kembali walau tak normal tapi Kenant teman hidup yang menyenangkan. Audi merasa kehilangan, kehilangan tawa polos, omong kosong serta pertanyaan bodoh suaminya. Audi menghela nafas berat, berapa lama lagi dirinya akan hidup seperti ini. Berapa waktu yang dibutuhkan agar Kenant kembali seperti dulu.

“Janinnya berkembang dengan baik. Ibu harus makan makanan yang bergizi, sering berolahraga ringan serta jangan lupa obatnya diminum dan Nyonya Audi bisa kembali sebulan lagi.”

Kenant memang bak patung namun percayalah kedipan mata dan senyum tipisnya melambangkan euforianya sebagai seorang ayah. Walau Kenant tak paham bagaimana menjadi seorang ayah namun ia akan sangat mencintai mahluk kecil yang ada di perut Audi layaknya teman karibnya.

Karena sudah selesai, seharusnya mereka segera pulang namun Audi memiliki rencana lain. Ia mengajak Kenant ke tempat dokter penyakit dalam yang menangani kesehatannya. Kali ini tanpa mertuanya.

“Apakah keadaan suami saya masih sama?”

“Secara garis besar masih sama, dan opsi yang diambil pun masih sama.”

“Memang ada opsi ?” Dokter itu lupa jika terakhir ia bicara pada Inggrita.

“Oh saya belum memberi tahu anda ya? Kenant bisa sembuh jika dilakukan operasi bedah pada kepalanya. Tapi keberhasilannya 20 persen dibanding 80 persen.”

“Tingkat kegagalannya lebih besar?”

Dokter itu membenahi kaca matanya lalu menatap Audi serius. “Iya tapi sudah ada yang berhasil. Saya pernah membicarakan ini dengan ibu Kenant tapi sepertinya Nyonya Inggrita tidak setuju. Mengingat resikonya yang terlalu besar. Wajar karena apabila operasi ini gagal, Keadaan Kenant akan semakin buruk bahkan mungkin nyawanya bisa melayang.”

Audi diam mencerna apa yang dokter katakan. Ibu mertuanya tidak pernah membahas ini dan alasannya ia tahu kenapa. Mertuanya mengutamakan keselamatan Kenant jika ada kesempatan suaminya sehat kenapa tidak dicoba. Audi mengamati sang suami yang berada di kursi roda. Jika Kenant disuruh memilih lebih baik jadi porselin seumur hidupnya atau mencoba untuk operasi namun nyawa menjadi taruhan.

🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻🌻

“Mamah tidak mau mencobanya. Setidaknya kita berusaha agar suamiku bisa sembuh.” Ini yang Audi langsung bahas ketika mertuanya sampai di rumah.

Inggrita yang semula duduk tenang kini gelisah, tangannya yang dikepalkan diletakkan di pangkuan. “Ini masalah nyawa tak bisa dicoba-coba. Mamah takut gagal dan takut kehilangan Kenant.”
.
“Iya Mah. Mungkin jika ini yang mengalami Bryan, mamah tidak akan berpikir dua kali untuk menyetujuinya.” Inggrita paham arah pembicaraan dengan menantunya ke mana. Audi tahu jika sang mertua berat sebelah.

“Mamah tidak bisa kehilangan Kenant, mamah sangat menyayanginya.”

Kasih sayang yang besar kadang membunuh seseorang. “Mah, aku mau Kenant bisa lihat anaknya tumbuh besar. Aku mau hidup selamanya dengan Kenant. Aku gak masalah jika selamanya disingkirkan di rumah pohon atau kalau perlu aku pergi menepi bersama Kenant. Aku rela kehilangan kemewahan yang mamah beri tapi aku juga ingin suamiku.”

Pengorbanan Audi sangat besar selain masa depan, kebebasan wanita ini tergadaikan. Sekarang Audi yang cantik, sehat dan pintar harus menghabiskan hidup dengan pria cacat ini terasa tidak adil. Inggrita menyayangi menantunya.

“Mamah juga ingin Kenant sembuh. Kita bisa cari cara lain. Kita cari pengobatan terbaik ke luar negeri kalau perlu kita bisa berkeliling dunia untuk mencari dokter terbaik.”

“Lantas makan waktu berapa lama itu? Ken tidak akan bertahan lama. Aku ingin Ken bisa menemaniku ketika persalinan nanti.”

Yang Audi katakan jelas benar walau terlihat diam namun tubuh putra sulungnya perlahan melemah. Dokter sudah menyerah, tinggal operasi bedah itu kesempatan Terakhir untuk Kenant hidup.

“Mah, aku Cuma ingin yang terbaik untuk Kenant. Mamah pertimbangkan soal operasi itu dan aku tunggu keputusan mamah.”

Audi pamit, ia undur diri. Meninggalkan Inggrita dengan pikiran tercampur aduk. Saat hendak sampai di pintu pertama ia tak sengaja melihat bryan Cuma berdiri tanpa mau masuk ke ruang tamu. Mungkin pria itu menguping tapi apa pentingnya itu untuk Audi. Bryan tak peduli dengan saudaranya. Mungkin bagi pria tanpa perasaan itu lebih baik melihat Kenant segera tiada.

“Kalau itu yang Audi minta setujui saja Mah.”

Bryan masuk tanpa salam dan langsung menekan keputusan yang akan Inggrita pertimbangkan. “Ini gak mudah. Mamah menyayangi Kenant. Operasi itu sangat beresiko.”

“Kenant bertahun-tahun lalu harusnya udah mati kan Mah? Apa bedanya sekarang, besok atau nanti. Kita akan kehilangan Kenant cepat atau lambat.’ "

“Tutup mulut kamu! Kenant bagaimana pun kakakmu. Dia bukan manusia lumpuh tidak berguna yang harus disingkirkan.”

Bryan mulai berkacak pinggang, dengan satu tangannya mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak mengerti kenapa mamahnya tidak pernah berpikir praktis. “Mamah masih punya aku. Aku sehat, normal, bisa mamah banggakan. Kenapa mamah lebih peduli pada Kenant yang menyusahkan, membuat malu, cacat otaknya, dan sekarang lumpuh. Mamah sudah mencarikan dia istri, menyisihkan saham untuknya, sekarang mamah masih mempertahankan dia hidup. Untuk berapa lama itu!”

Plakk

Perkataan yang panjang itu dihadiahi Inggrita sebuah tamparan. “Kamu gak pernah tahu bagaimana rasanya punya anak. Bahkan seluruh isi dunia kamu beri pun, gak pernah cukup!”

Bryan tertawa kering, seolah mamahnya hanya punya Kenant dan Bryan bagai orang asing. Kenant mendapatkan segalanya cinta dua wanita yang penting untuknya. “Kalau mamah sayang Kenant. Mamah pasti lebih mudah menyetujui operasi itu. Seperti mamah yang dengan mudahnya setuju keputusan papah yang menjodohkan aku dan mengirimku ke luar negeri. Aku juga anak mamah, tapi mamah gak pernah mau tahu apa keinginanku.”

Bryan berbalik, naik tangga. Meninggalkan Inggrita yang kini bahkan tak mau melihatnya. Sejak kecil Bryan selalu dimarahi, dibuat mengerti dengan kondisi Kenant. Bahkan waktu Kenant menyerangnya ia disuruh mengalah dan berakhir terluka. Bryan diberi semua beban, ia mengerti konsekuensi
sebagai putra Brawijaya tapi bolehkah Bryan juga meminta sedikit udara dan cinta agar ia bisa bertahan hidup juga. Kenant yang sekarang diusahakan untuk hidup sedang dia yang hidup, hatinya dibiarkan mati.

🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀🥀

“Kamu berantem sama mamah?” tanya Monika yang melihat Bryan duduk sambil memegang gelas di kursi ruang kerja. Ia masuk tanpa mengetuk pintu atau pemberitahuan.

Bryan tak mau menjawab, sebab pasti Monika sudah mendengar detail cerita dari pelayan. “Bener kan yang aku usulin. Kita sebaiknya pindah aja ke apartemen.”

“Yang berantem sama mamah itu aku bukan kamu. Kenapa kamu selalu ngotot minta pindah?”

Masalahnya Monika mulai terusik dengan kehamilan Audi. Melihat perut kakak iparnya yang semakin membesar, rasa iri, sedih, marah serta kesal menyergapnya. Monika seolah merasa menjadi orang kedua di rumah ini padahal Audi berada di rumah pondok.

“Yah aku kan udah bilang alasannya apa.”

“Kepalaku pusing. Bisa kamu tinggal aku sendiri?”

Monika ingin menawarkan obat dan pijatan tapi melihat wajah Bryan yang kusut, niatnya ia urungkan. Ia tidak mau merusak mood Bryan yang sudah hancur berantakan. Menjadi istri Bryan, ia belajar untuk banyak mengalah dan memberi waktu untuk sang suami.

“Oke...kalau butuh aku. Aku ada di kamar.”

Bryan Cuma mengangguk kecil sebelum pintu ditutup oleh Monika. Pikiran Bryan sedang kalut. Ia merasa bodoh, tolol serta konyol karena iri pada Kenant yang tinggal kulit dan tulang namun kenapa seriring ia mengumbar tawa keringnya. Bryan juga merasakan sengatan sakit pada hatinya. Bryan iri pada Kenant karena mendapat rasa hormat, peduli serta sayang dari Audi yang sangat tulus.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Jangan lupa vote dan komentarnya

my idiot boysHikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin