Bab 28

838 124 1
                                    

Setelah adegan pelukan itu, hubungan mereka memasuki fase canggung. Audi sadar yang dilakukannya melampaui batas. Ia harusnya tak pernah memaafkan Bryan, tak dekat lagi dengan pria yang pernah mematahkan hatinya itu. Bryan jelas hanya bermain-main atau ia ingin menyiksanya dengan pura-pura prihatin akan nasibnya.

Bryan mengerutkan kening ketika berpapasan dengan Audi di kantor. Pasalnya wanita itu malah menundukkan kepala sembari setia memasang wajah datar. Apa Bryan belum sepenuhnya di maafkan. Apa interaksi mereka ada akhirnya hanya menjadi hal yang dilupakan. Oh ia tahu Audi kemarin kan mabuk, tidak mungkin ingat apa yang mereka lakukan.

"Pak, ini laporan keuangan yang bapak minta."

Bryan menyuruh sang sekertaris untuk menggali laporan keuangan lama dan baru karena Bryan mencurigai sesuatu. Ada dana siluman berupa pembengkakan dana proyek dari tiga tahun lalu, ada keuntungan perusahaan yang disimpan di rekening pribadi dan beberapa dana yang yang seharusnya menjadi milik perusahaan tiba-tiba raib. Kecurigaannya mengarah ke satu orang yang Bryan sulit ungkap.

"Pak, Bu Audi ingin bertemu dengan bapak. Bapak punya waktu?"

"Suruh saja dia masuk," jawab Bryan ceria tapi sang kakak ipar masuk dengan wajah yang tidak bersahabat.

"Silakan duduk."

"Aku tidak mau berbasa-basi. Sebelum rapat tahunan besok di adakan. Aku akan membahas beberapa hal tentang perusahaan padamu. Semisal proyek terakhirmu dengan perusahaan asing. Kau menggelontorkan dana hampir separuh pendapatan perusahaan. Itu pun tahap pertama. Apa kau bertujuan membuat perusahaan kita bangkrut?"

Bryan menarik nafas kalau sebelum-sebelumnya ia akan murka tapi kali ini lain. Bryan dapat menjelaskan dengan kepala dingin.

"Untuk memajukan perusahaan harus banyak di korbankan terutama materi. Jaman sudah berubah Audi. Sistem lamamu sudah tidak berlaku. Keuntungan sedikit agar perusahaan tetap stabil dan berjalan di tempat? Aku tidak pernah setuju metode itu."

"Metodeku baik-baik saja sampai sekarang."

Bryan menyatukan tangan, seolah ia memang sang penguasa di dalam pembicaraan ini. "Metode itu perusahaan tidak akan bertahan sampai sepuluh tahun. Aku tahu selama aku tidak ada, kau bekerja keras demi menstabilkan perusahaan. Aku berterima kasih atas hal itu."

"Tapi bagaimana kalau ternyata usahamu tak berhasil dan membuat perusahaan bangkrut?"

"Usaha memang penuh resiko. Jika gagal kita siap-siap saja berusaha lebih keras dan jika berhasil kita akan mendapatkan keuntungan berkali lipat. Brawijaya harus bisa bersaing dengan perusahaan Vindetta atau Hamdan. Kita tidak dapat bergerak di tempat nyaman." Bryan meletakkan siku di meja. Melalui matanya ia menatap Audi lekat-lekat.

"Ada hal lain yang ingin kau tanyakan?"

Audi gugup, tatapan Bryan tidak mengintimidasi namun membuat jantungnya berdetak kencang. "Tidak. Aku terima keputusanmu karena aku tahu kekuasaan dan sahammu lebih besar dariku."

"Aku ingin kedudukan kita sama," jawaban yang mengejutkan. "Aku butuh tenaga dan pikiranmu untuk menjalankan perusahaan. Kalau kau sudah selesai. Giliranku bertanya." Bryan menggigit bibir bagian bawah seperti sedang menyusun kata-kata yang tepat. "Apa kamu pernah memberikan ijin mamah untuk mengendalikan keuangan perusahaan?"

"Iya. Mamah memang mundur tapi dia masih mau mengetahui keuangan kita. Aku beberapa waktu lalu memberikan dia wewenang tapi kamu kembali dan mamah menyerahkan masalah keuangan ke aku. Kenapa dengan itu. Ada masalah?"

Bryan memijit pelipis. Ia menggeleng, menghalau rasa cemasnya. "Oh tidak apa-apa."

"Kalau begitu aku permisi."

Bryan tak menjawab tapi melalui gerak tangannya ia memberikan jalan selebar-lebarnya untuk Audi agar beranjak. Kali ini Bryan diterpa kebimbangan akankah ia mengalah atau melanjutkan penyelidikannya.

🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀🍀

Monika pulang dengan wajah merah padam. Ia segera Naik ke atas menuju kamarnya bersama Bryan. Monika dengan tak sabaran mencari keberadaan sang suami yang ternyata baru ke luar kamar mandi.

"Ini maksudnya apa? Kamu mengatur pertemuan kita dengan dokter kandungan buat apa!"

Bryan mengerutkan dahi karena amarah Monika yang dirasa agak aneh. "Aku ingin memeriksakan kesuburan kita besok. Aku mau mulai memikirkan soal anak," jawabnya santai padahal batin Monika bergemuruh hebat. Ia ngeri membayangkan jika Bryan tahu kebenarannya.

"Ini terlalu tergesa-gesa. Kita nikah juga baru setahun lebih sedikit. Banyak orang yang belum memiliki anak setelah Lima atau sepuluh tahun berumah tangga."

"Itu rumah tangga mereka, bukan aku."

Monika tersenyum pedih. Rumah tangga di luar sana berdasarkan cinta sedang ia? "Aku gak mau ikut. Aku merasa sehat dan kita masih muda. Jalan memiliki anak masih panjang."

"Terserah padamu. Aku akan berangkat besok  karena aku sudah membuat janji."

Bryan berusaha cuek toh selama ini pergaulannya terlalu bebas. Ia juga ingin memeriksakan kesehatan seksualnya. Kenapa juga Monika harus semarah itu. Apa setiap wanita pasti tersinggung karena dikorek soal kesuburan. Bryan suka hubungan terbuka dan bebas, Monika kian hari banyak mengekang, menuntut ini itu dan menginginkan hal-hal di luar nalar.

"Kenapa tiba-tiba ingin ke dokter? Apa kamu ingin segera menyingkirkanku."

"Kamu itu ngomong apa?"

"Aku lihat kamu memeluk Audi. Kamu sudah tak sabar untuk reuni, kembali ke mantan kekasih kamu yang kehilangan bayinya itu. Audi mengambil kesempatan, hadir di antara kita."

Bryan berusaha sabar dengan menarik nafas tapi terkadang Monika memang harus ditegur. "Ini semua tidak ada hubungannya dengan Audi. Soal aku memeluknya, aku mengakuinya. Aku terbuka padamu. Aku berusaha menenangkannya karena kehilangan anak."

"Kamu pernah merasa kalau selama ini ucapanmu yang kelewat santai itu sering menyakitiku. Aku tahu kamu tidak mencintaiku tapi bisakah kau berbohong paling tidak menyayangiku, peduli padaku?"

"Aku peduli. Semua kebutuhanmu ku penuhi. Kau bebas pergi ke mana saja, membelanjakan uangku juga."

"Pernahkah kau berpikir bahwa yang ku butuhkan lebih dari uang?"

Bryan tertawa, tapi Monika malah merasa seolah diejek. "Hey Monika. Di awal pertunangan kita sudah dikatakan bahwa hubungan kita adalah simbol mutualisme. Pernikahan kita pertanda hubungan kerja sama, merger perusahaan, pertukaran saham. Simpel dan jangan dibuat rumit. Jangan terlalu serakah menginginkan sesuatu yang tak dapat ku beri."

Monika hanya diam, lalu mulai menangis karena sadar bahwa rumah tangganya akan bernasib sangat getir. Ketika ingin berteriak dan melempar barang, sayang orang yang menyebabkan amarahnya sudah meninggalkan kamar.

🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁🦁

my idiot boysWhere stories live. Discover now