Rasi dan Sepi

37 18 0
                                    

Kehidupan bukan dimulai saat kamu membuka mata, tapi saat kamu mengerti apa yang kamu lakukan.

Pintu rumah Rasi buka, tapi hanya derit pintu tua yang menyambutnya. Helaan napas panjang lolos dari bibir bersama tangan yang meraba dinding. Saklar lampu pun ditekan, memberi cahaya pada rumah dua lantai yang Rasi pijaki. Rumah lama. Besar. Sepi. Semakin sepi.

Sembari berjalan menuju dapur karena perut Rasi minta diisi, pemandangan demi pemandangan di mana rumah besar ini merekam banyak kenangan, tiba-tiba bermunculan di penglihatan Rasi. Bayangan Rasi digendong papa. Rasi membuat kue bersama mama. Rasi yang memeluk oma hingga oma mengeluh sesak napas. Ingatan dua belas tahun yang lalu yang terpecah dan bercampur dengan kilasan bayangan di mana Rasi tumbuh besar hanya bersama oma. Tertawa bersama oma, mendelik ketika papa melewati dirinya. Bercerita dengan oma, mendesah ketika mama mencium puncak kepala hanya untuk berpamitan setelahnya. Dan tidur sembari memeluk oma ketika kehadiran mama dan papa hanya bisa dibuktikan dengan derit pintu rumah yang terbuka.

Rasi lahir dan tumbuh besar di sini. Tumbuh ditemani oma ketika papa mama sibuk bekerja. Nyaris hilang segala kenangan bersama orang tuanya. Rasi hanya mengingat kenangan tentang oma.

Berangkat pagi pulang malam. Kadang tak pulang demi urusan pekerjaan. Wajar saja bila Rasi selalu lupa kalau ia tinggal bersama orang tuanya. Bahkan ketika perut Rasi kelaparan sekarang, tak ada satupun makanan yang bisa ia temukan di kulkas. Mie instan pun tak ada.

Rasi menghela napas panjang. Segera ia pesan makanan yang pertama kali dia lihat di aplikasi online lalu beranjak ke kamarnya. Menunggu makanan pesanannya tiba.

"Dulu nggak separah ini," gumam Rasi ketika mendapati pigura foto di atas meja belajarnya.

Ada papa, mama, Rasi, dan oma. Selaku cucu dari anak tunggal keluarga papa, oma sangat menyayangi Rasi. Bahkan dari senyum lembut oma tiap memandang Rasi, Rasi bisa merasakan cinta yang luar biasa melebihi cinta yang bisa Rasi rasa dari mamanya sendiri. Rasi sayang oma. Sangat.

"Rasi kangen oma," ucap Rasi lirih sembari memaku pandang pada sosok di dalam foto yang memeluk Rasi dengan senyum merekah.

Tangan Rasi pun terjulur bermaksud mengambil pigura foto. Belum sempurna di genggamannya, pigura itu meluncur jatuh. Dentang keras terdengar. Serpihan kaca menyebar.

Rasi terkesiap. Dengan buru-buru, dia berlutut ingin membersihkan. Namun karena tak hati-hati, jarinya tergores, cairan kental mulai menetes. Perih pun menjalar dan Rasi seketika hisap jarinya, menghentikan pendarahan.

Pandangannya terjatuh pada wajah oma yang terkubur serpihan kaca. Masih dengan senyum merekah yang sangat Rasi rindukan.

"Rasi ..., kangen oma."

Detik pertama, senyum oma yang muncul di bayangan sebelum berganti bayangan oma berkain kafan.

Seperti tersengat listrik, tubuh Rasi tersentak. Sekelebat ingatan tiba-tiba memenuhi pikirannya. Jantungnya berdebaran. Bulir keringat bercucuran. Napasnya memburu satu-satu.

Rasi cengkeram erat pelipis. Bayangan kelam yang berusaha dia redam langsung naik bersusulan, memenuhi kepala Rasi. Tubuhnya seperti dibebani batu besar, membuat Rasi tak kuat menahan. Dia pun jatuh terduduk di lantai.

"Oma ... oma ...."

Mata Rasi memanas. Cairan bening pun menetes, menghangatkan pipi Rasi yang mendingin. Pucat pasi.

Segala kejadian hari itu kembali tampak. Hari di mana jadi hari terakhir Rasi melihat omanya. Hari terakhir oma mengecup Rasi sebelum tidurnya. Hari terakhir yang merenggut nyawa oma sekaligus kebahagiaan Rasi untuk berenang.

Rasi merintih. Tangisnya sesenggukan. Dadanya seperti ditekan sangat kuat hingga ia kesulitan bernapas.

"Pergi."

Terdengar suara berat yang menyeru. Rasi mendengar jelas peringatannya, namun tubuhnya telanjur tak terkendali. Rasi hanya bisa merintih.

Seperti anak panah, tatapan mencemooh puluhan pasang mata yang menghadiri pemakaman hari itu, melesat tepat ke jantung Rasi. Rasi tertikam. Perih. Sakit. Apa benar ini salahnya?

"Berhenti ...," rintih Rasi sembari mengacak rambut. Berharap dengan itu, bayangan tentang hari itu turut lenyap tersapu.

Namun, ketika semuanya justru semakin tampak jelas, Rasi menjerit, "Berhenti natap gue kayak gitu! Gue nggak salah! Bukan gue penyebab Oma meninggal!" ringisnya diikuti cairan bening yang mengalir semakin deras.

"Pergi!" Suara berat itu kembali menyeru.

Namun terlambat untuk pergi, sosok itu di sini.

Tubuh Rasi meremang. Dengan sisa celah kecil di mata Rasi yang mampu terbuka, Rasi melihat jelas pergerakan sosok itu mendekati. Sosok hitam yang akhir-akhir ini sering datang. Dia menekuk lututnya hingga sejajar dengan wajah Rasi. Dia tersenyum. Lebar. Terlalu lebar, membuat tubuh Rasi gemetaran.

Rasi harus segera pergi. Rasi harus pergi! Tapi kakinya kaku setengah mati! Dan ketika Rasi hanya bisa menatapnya, mulut sosok itu terbuka.

"PERGIII!"

"AAAHHH!"

Rasi memekik ketakutan. Kepalanya tertunduk. Tubuhnya didorong cepat dengan kaki hingga punggung menabrak dinding. Kepala Rasi menggeleng keras. Terus menggeleng dan menggeleng. Menolak semua yang dia lihat. Menolak semua yang dia dengar. Tapi sayang, semua itu telanjur terekam jelas.

"Iya-iya-iya. Rasi nggak akan renang lagi ... Rasi nggak akan renang lagi. Maafin Rasi, Oma. Maafin Rasi ...." Rasi berkata di sela tangis sesenggukan. "RASI NGGAK AKAN RENANG LAGI!" tandasnya, lalu mengerang kesakitan.

{{}}

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now