Detik Pengakuan

26 8 0
                                    

Sudahi saja teka-teki. Aku tak pandai menerka apalagi menyimpulkan. Perjelaslah garis batas antara hitam dan putih. Teruntuk sorot mata yang menyimpan sejuta makna abu-abu.

Panggilan itu terputus, si penelepon sebentar lagi berangkat.

Rasi tatap bayangan dirinya di cermin. Mata sembabnya memudar tersapu angin malam. Bibirnya mengulas senyum yang jarang Rasi perlihatkan. Butuh waktu berbulan lamanya agar senyum ini mampu kembali merekah dengan tulus. Selalu butuh alasan untuk suatu tindakan. Dan alasan itu ia temukan lagi tadi malam.

Terngiang jelas gelagat kikuk Bintang yang melarikan tangan ke belakang kepalanya selepas menarik lengan dari tubuh Rasi. Wajah memerah, mulutnya terbata saat berkata, 'Lo-lo udah tenang, 'kan?' Terlalu kentara ia salah tingkah. Tak jauh berbeda dengan Rasi yang membuang wajah menatap tirai hujan yang ditembus mobil-mobil berkecepatan tinggi seraya mengangguk kecil. Dekapan yang singkat namun melekat dalam ingatan.

Rasi tak percaya ada cowok yang berani melakukannya! Tapi untuk pertama kalinya, tak ada umpatan yang terbesit di otaknya. Kosong. Beku. Tak ada yang dipikirkan oleh Rasi. Seolah hatinya yang menenang telah memberi izin pada Bintang. Ia tidak kesal karena damainya pelukan oma mampu kembali hadir karena cowok itu.

Berpaling pada ponsel di genggaman, nama si penelepon tertera di sana. Bahkan hanya melihat namanya, napas sudah tercekat bersama jantung yang terasa berlarian ke segala arah. Debar di hati, tak bisa Rasi pungkiri lagi. Rasi tak berani mengartikan sensasi aneh ini, tapi ia ingin menikmati rasa ini.

"Apa gue udah kalah?"

Bintang was called 3 minutes ago.

Secarik kertas, ia rogoh dari saku jaket jeans. Surat yang Bintang beri setelah mereka makan bakso di tempat favorit Bintang selepas hujan reda. Memaksa ibu penjual mencari kertas dan pulpen--yang cukup aneh bila tempat makan bakso kecil menyediakannya. Alhasil, Bintang bikin rusuh dan akhirnya menjejal tangan Rasi dengan kertas yang hanya boleh dilihat gadis itu pagi ini.

Terkaan Rasi pasti benar. Bintang hanya modus mengajaknya taruhan agar cowok itu tidak ketahuan suka duluan sama Rasi. Agar cepat menarik Rasi dalam permainan cinta dan akhirnya terjerembab dalam lubang yang sama. Karena Bintang, tidak ingin jatuh sendirian. Bila itu benar, Rasi tak ragu untuk membalasnya.

Dengan itu, kaki Rasi mengayun ringan menuju tempat yang tertera pada kertas.

Sabtu. Jembatan Cinta Jam 10. Gue pengen lo tahu sesuatu yang gue yakin lo udah tahu.

Dari : tadi nyari kertas susah bener :P

Senyuman yang paling tulus Rasi bawa. Senyum untuk seseorang yang berharga.

{{}}

Sepandainya tupai melompat pasti akan jatuh juga, bukan? Begitupun Bintang. Sepandainya ia tutupi perasaan, pasti akan ketahuan juga, bukan?

Menimbang apakah gadis itu sudah membalas perasaannya atau belum, hanya semakin menghimpit relung dada dalam cemas tak beralasan. Bintang akan meluruhkan egonya. Ia lelah menahan perasaan. Tak lagi peduli dengan jawaban Rasi, membiarkan gadis itu tahu akan isi hatinya, itu yang terbaik.

Terlebih, Rasi tidak memberlakukan perjanjiannya yang semakin membakar semangat Bintang untuk mengaku.

Mata Bintang menjelajah menyusuri jalanan. Satu benda di balik dinding kaca toko, membuat Bintang mengerem sepedanya. Pandangan Bintang terkunci. Bibir pun melengkung tanpa instruksi.

"Sabar, Ras. Sebentar lagi lo pasti bisa renang lagi. Gue nggak bakal nyerah bantuin lo asal lo selalu ada di deket gue," gumamnya penuh harap pada benda pipih warna emas yang menggantung pada tiang. Medali emas.

"Lo pasti bisa ngeraih benda itu lagi. Dan kita bisa masuk universitas yang sama," ucap Bintang bertekad.

Bintang pun melajukan sepedanya menuju Jembatan Cinta.

{{}}

Setiap lima menit sekali, Rasi mendengkus kasar. Bintang sudah gila bila ia tersasar!

Setelah berdesakan, Rasi akhirnya sampai di tepi Jembatan Cinta. Menunggu Bintang yang seharusnya sudah di sini sejak dua puluh menit yang lalu. Ukiran senyum yang ia bawa dari rumah, perlahan luntur, hingga habis tak tersisa. Menyembul kerut di kening serta cebikkan bibir yang mengisi wajah Rasi.

Mentari meninggi. Silaunya menyakiti. Ia nyalakan ponsel tiap tiga menit sekali. Sekedar melihat waktu yang kini terasa berjalan lambat dari biasanya.

Tiga puluh menit berlalu sia-sia. Rasi ingin berusaha sabar tapi ia tidak bisa! Secepat peluh mengucur di pelipis, ia pun menelepon Bintang.

Bukan nada dering yang menjawab, justru operator. 'Nomor yang anda tuju sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi.'

Rasi mengentak ponselnya ke udara. Ke mana cowok itu? Kulitnya terasa terbakar berlama-lama di jembatan. Gadis itu pun berlalu mendekati kursi yang ada di pos satpam pintu belakang komplek. Berteduh. Berharap figur Bintang akan hadir di penglihatannya sebentar lagi dan ia akan mengumpat sejadi-jadinya. Rasi benci orang yang tidak disiplin apalagi tidak menghargai orang lain!

Rasi menunggu. Sebentar lagi. Semoga.

{{}}

Kelopak mata itu terbuka. Cahaya merambat cepat ke retina, membuatnya mengerjap. Indra penciuman mendekap bebauan yang memualkan. Pening seketika menjalar selang menghirupnya.

Di ruangan yang cukup besar dengan nuansa putih menenangkan, Adel terbaring lemah karena didiagnosis keracunan overdosis obat. Beruntung, teman-teman di sekitar loker melihat Adel pingsan dan segera memanggil guru dan menghubungi ambulance. Obat itu hampir merenggut nyawanya.

Wajah Adel mengerut akan rasa tak nyaman. Tergelitik, sensasi dari punggung tangan yang tertusuk jarum infus menyampaikan informasi ada jemari yang bermain di sana.

Kelopak mata pun ia angkat tinggi-tinggi. Membiaskan bayangan hitam yang tersorot cahaya, tengah berdiri di sampingnya. Tersenyum hangat.

"Kak ... Bintang?" Adel bergumam.

{{}}

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now