Kartu Kesempatan

41 16 0
                                    

Kuharap kamu bukan pelangi yang hanya datang selepas hujan pergi. Aku membutuhkanmu melebihi mentari menyinari hari.

"Del, lo nunggu mama?"

Adel mengangguk pada Bintang ketika mereka keluar dari tempat les persiapan Ujian Nasional sepulang sekolah. Bintang yang kelas akhir wajib mengikutinya di saat Adel merasa dia punya cukup kemampuan untuk mengikuti pelajaran meski seharusnya dia mempelajari itu tahun depan.

Bintang mendatangi sepeda ontel miliknya. Sepeda berjok hitam dengan besi tua yang tampak berkarat di beberapa bagiannya. Dilengkapi lampu depan yang sudah tidak bisa lagi menyala, banyak yang mengira sepeda itu tidak layak pakai, tapi Bintang jamin sepeda ini masih sangat kuat mengantarnya ke ujung dunia sekali pun. Bintang tak punya motor, jadi Bintang bersyukur masih ada ontel peninggalan kakeknya daripada kaki gempor.

"Kak Bintang?"

Bintang mendapati Adel di sisinya. "Kenapa?"

"Kakak masih inget perkataan Adel waktu itu?"

Bintang mengernyit sesaat sebelum mengangguk mantap. "Lo mau pake kartu kesempatannya?"

Adel mengangguk.

"Buat apa? Bener-bener kesempatan satu kali seumur hidup buat make kartu kesempatan itu. Dapetinnya juga nggak cuma-cuma, 'kan?"

Adel terkekeh kecil. "Iya, sih."

"Seberapa pentingnya sampe lo mau pake kartu itu sekarang?"

Adel termenung. Ia tidak tahu seberapa penting hal ini, tapi ia rasa tidak akan ada kesempatan dua kali di kemudian hari. Dan ia sangat tahu kalau Bintang akan menepati janji asal ia mampu melakukannya. Pasti akan ditepati, 'kan? Lagipula, ini bukan hal sulit Bintang lakukan.

"Penting. Penting banget," balasnya.

Kening Bintang mengerut. "Emang apaan?"

Dan kerutan di kening Bintang pun makin dalam mendengar permintaan yang tak pernah terbersit dalam pikirannya.

"Jadi pacar Adel. Kakak pasti ngabulin, 'kan?"

{{}}

Rasi yakin semalam tidak hujan dan Rasi mandi air hangat barusan, tapi kini tubuhnya malah menggigil kedinginan. Jemarinya bergetar. Rahang Rasi gemeretak tak nyaman. Rasi pun mencoba memeluk dirinya sendiri sembari berjalan memasuki gerbang sekolah.

Pandangan Rasi mengedar. Was-was. Matanya terpancang curiga ke beberapa titik gelap bangunan sekolah yang Rasi takuti di sanalah sosok itu bersembunyi. Di sana atau di sana? Jantung Rasi berdebaran. Rasi pun menunduk. Berjalan cepat. Berusaha mengabaikan perasaan bahwa dia sedang diawasi.

Rasi ingat bagaimana dia kedatangan sosok menyeramkan. Sosok yang seluruh tubuhnya berwarna hitam dengan mata yang memandangnya tajam lengkap dengan seringai di bibirnya yang lebar. Rasi tak tahu kapan pertama kali dia melihatnya, tapi setiap ketakutan dan kenangan buruk tentang oma kembali terngiang, sosok itu selalu datang seolah tak mau ketinggalan melihat Rasi berantakan. Sosok pria besar bersuara berat.

Rasi tak yakin itu apa, tapi sosok itu terlalu nyata untuk dia abaikan. Sosok itu selalu mengawasi dan paling membenci ketika Rasi mulai rindu berenang lagi. Rasi harus menjaga keinginannya. Sepertinya, Rasi benar-benar harus menanggalkan pakaian renangnya.

Dan Rasi pun sangat mengingat kerasnya suara berat sosok itu berteriak lantang di depan wajah, membuat jantung Rasi bertalu-talu dari dalam, tapi Rasi tak mampu mengingat kapan dia tertidur dengan mata yang sembab lalu terbangun dua jam kemudian. Makanan yang dia pesan pun disimpan begitu saja di bangku depan rumah. Untung, sudah Rasi bayar lewat pembayaran digital. Rasi bisa menyantapnya tanpa penyesalan.

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now