Senyum yang Sama

26 9 2
                                    

Layaknya cermin retak yang tak mampu menampilkan bayangan secara sempurna, hati yang kecewa oleh canda semesta pun takkan lagi sama.

Di sekeliling ranjang Bintang, berdiri Bagas, Keno, Vanya, Seril, juga Rasi. Degup jantung mereka meletup-letup. Seolah satu jiwa, tubuh mereka kompak menegang bersama mata yang memburam dan bibir yang terus merapal harapan.

Seharusnya Bintang sudah sadar. Tubuh Bintang yang sangat lemah memberikan efek selepas operasi jantung yang membuat tubuhnya terkejang bahkan kehilangan denyut nadinya sesaat. Beberapa jam selepas diberi pengobatan, garis di mesin jantung kembali bergerak normal walau dalam tempo yang lambat. Kelopak mata Bintang pun terbuka perlahan.

Dokter segera bicara pada Bintang, menitahnya menggerakkan bola mata ke kanan dan kiri lalu menyenteri bola mata cowok itu. Tersenyum, dokter pun sampaikan pesan, 'Pasien baik-baik saja' sebelum berlalu meninggalkan ruang rawat.

"Kak Bintang!" seru Seril, gadis berambut keriting yang memandangnya penuh harap. Di sampingnya, Vanya melambai singkat sebelum menutup wajah yang menangis haru.

Disambung Bagas dan Keno yang mengeluarkan nada sinis.

"Lo minta ditendang pake bola sepak." Bagas berucap saat keningnya mengerut.

"Untung nggak jadi mati. Cuma segini lo nganggep kita temen lo? Bego," seru Keno, mengepal tangan erat-erat.

Seolah tak peduli, lantangnya suara itu justru menilap rasa kesal, kecewa, juga lega dan bahagia bersamaan. Perhatian yang tersembunyi, namun tersampaikan lewat sorot mata yang serupa jendela isi hati. Dan Bintang menyadarinya.

Iris Bintang yang menjelajah tiap wajah pun berlabuh pada pemilik mata yang kini berderap ke samping ranjang, menatapnya penuh harap. Rambut gadis itu berantakan, matanya sembab dan menghitam. Tangisan, lagi, meluruh di pipi gadis itu.

Gadis yang jadi salah satu alasannya mengakhiri hidup. Mengapa ia di sini? Bukankah seharusnya ia meninggalkannya? Belum sempat otak Bintang memproses apa yang sebenarnya terjadi, hatinya teremas. Kuat. Terlalu kuat. Bintang menangis.

Seolah ada yang menekan tombol rewind, kepedihan yang seharusnya ia tinggalkan kembali terjejal sekaligus dalam benaknya. Menghancurkan benteng pertahanan yang selama ini ia bangun. Lengan kanan pun terangkat perlahan menutup mata yang mengalirkan cairan bening.

Cairan yang selalu ia tahan selama belasan tahun memikul luka hati seorang diri. Tangisan yang tak pernah ingin ia tunjukkan pada siapapun. Kini tumpah, tanpa perlawanan.

Kristal bening itu tak kunjung berhenti mengalir sekian menit setelahnya. Betapa dalam rasa sakit yang selama ini tertanam dalam hatinya.

{{}}

Rembulan menggantung. Angin malam menyelinap lewat celah jendela. Tersapu sudah pembicaraan tanpa makna yang berarti. Hanya ungkapan kesal, tak percaya, lalu permintaan maaf dari Bagas dan Keno yang gagal menghubungi orang tua Bintang. Melihat Bintang menangis saat tersadar dari koma, jadi bukti Bintang belum siap ditanya ini itu apalagi diajak bercanda.

Tersisa Rasi dan Bintang di ruang rawat. Vanya, Seril, Bagas, Keno, dan Rasi setuju untuk bergantian menjaga Bintang. Mereka pun meninggalkan Rasi yang meminta untuk menjaga Bintang pertama kali.

"Kenapa gue di sini, Ras?" tanya Bintang lemah seraya menatap gadis yang memalingkan wajah darinya.

Rasi mengabaikan. Tangannya sibuk mengusap kain basah pada lengan Bintang. Sekadar ingin membersihkan tubuh cowok itu atau tepatnya mengusir kecanggungan.

"Kenapa lo di sini? Lo harusnya nggak di sini," sindir Bintang.

Gerakan Rasi berhenti. Hatinya berdesir rasa tak nyaman. Tanpa aba, kain basah pun Rasi banting ke lantai disusul tatapan nyalang yang terarah pada Bintang.

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now