Tolong Lupakan

23 10 0
                                    

Biar bumi menelanmu ke dasar. Biar sunyi mendekapmu dalam biru. Tapi jangan pernah biarkan itu merampas senyumanmu. Selalu ada alasan untuk tersenyum, bahkan desah napas sekalipun.

Pandangan semua orang terpaku. Secara magnetis, adegan ini menarik cepat siapa pun yang berada dalam lingkaran pemerannya. Entah pejalan kaki, pemilik kedai yang berjajar, maupun penikmat makan malam yang terusik hingga makanan tak lagi sedap dipandang.

"Tang, mana duitnya?!"

Tangan Bintang terkepal kuat bersamaan tatapan yang kian menajam. Tak bisa menutupi rasa kesal yang menjalar juga rasa malu yang menyeruak di dada. Sampai suara gadis itu menelusup, membuyarkan segala aksi yang terlintas dalam otaknya. Seperti memukul balik orang itu, meneriakinya, atau bahkan membalik pergi tanpa mau menyapa sama sekali yang kini terhisap, lenyap dari pikiran.

"Bintang, itu siapa?" Mata Rasi membulat ketakutan.

Kepalan tangan Bintang yang mengerat pun kian melonggar seiring nada gusar gadis itu. Perlahan, pandangannya melemas. Lalu kemudian, ia tatap Rasi yang seolah akan mati penasaran. Gadis itu berhasil meredam emosi Bintang.

Tanpa mau menutupi, Bintang berucap, "Papa gue," balasnya yang kini mampu menarik dua sudut bibir.

Rasi terperangah. Kepedihan tergambar jelas di balik manisnya senyuman itu.

Bintang berlalu menatap Ferdi yang berdiri oleng. Masih menengadahkan tangan kosong yang tanpa basa-basi Bintang penuhi dengan uang pemberian Bu Wenda. Ia juga tak berharap mendapat uang semudah itu.

Bintang hela napasnya. "Apa papa harus bikin Bintang malu di depan temen Bintang?" tanyanya. "Bintang malu, Pa."

Ferdi malah mengibas tangannya dengan asal. Tak mau mendengar apapun dari Bintang. Diteguknya minuman dalam botol yang memabukkan sebelum kembali menatap putra semata wayangnya.

"Makanya, lain kali nggak perlu diminta dulu. Tapi langsung ngasih ke bapak! Anak nggak tau diuntung," dengkus Ferdi tak peduli ada air mata yang bergumul dari darah dagingnya sendiri.

Berjalan sempoyongan ke kerumunan teman-temannya yang sedang berkumpul di warung kopi, ia tinggalkan Bintang serupa hari-hari biasanya.

Bintang kembali hela napas. Ia tahan sekuat tenaga cairan bening yang hendak menerobos keluar. Hanya dirinya yang boleh menikmati kepedihan ini. Ia tak suka menerima pandangan iba apalagi dari mata yang seharusnya tak pernah melihat keadaan dirinya. Tertelan lagi air mata Bintang. Cengirannya pun terbit yang ia hadiahkan untuk Rasi.

"Maaf, lo jadi liat yang aneh-aneh." Cengiran yang tampak begitu kecut.

Rasi menggeleng. Enggan bersuara. Setelah pesanan nasi goreng dibuat, Bintang pun mengantar Rasi pulang. Membiarkan hening mendekap keduanya.

{{}}

"Del, ada olimpiade matematika sebentar lagi. Kamu pasti bisa ikut, 'kan?"

Tergulung buku di tangan Adel. Teremas kuat hingga kerutan tercetak di buku tebal itu. Meneguk saliva yang terasa menyangkut di tenggorokan, Adel yang berdiri di ambang batas dapur dan ruang keluarga, mengangguk kecil.

"Adel pasti bisa kepilih kali ini," ucapnya terselip gusar, takut dia tak dapat menyanggupi kalimatnya sendiri, yang lolos dari pendengaran ibunya. Terhempas jauh.

Gesekan pisau yang sedang mengiris wortel, terhenti sejenak. Wenda menghela napas lalu melanjutkan aktivitasnya.

"Bukan bisa, tapi harus, Adel. Kinan anak kedua kakak mama aja bisa kepilih kok, padahal nilai dia di bawah kamu. Kamu harus lebih bisa. Ini penting jadi resume kamu buat masuk ke universitas kedokteran."

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now