Ujung Dunia

18 12 0
                                    

Adalah tempat berpulang di mana hangat mendekap saat dunia puas menertawakan. Rumah tidak melulu tentang bangunan, tapi kadang tentang seseorang.

"Rasi, kamu mau ke mana?"

Mendadak, langkah Rasi tertahan di ujung tangga ketika mama, Karina, yang duduk di meja makan mendongak padanya. Rasi terkekeh canggung. Jaket jeans yang membalut kaos putih dilengkapi celana jeans donker yang dikenakan Rasi terlalu rapi bila Rasi berkata hanya baru selesai mandi, tapi tidak mungkin juga bila Rasi berkata jujur bahwa dia ingin pergi berkencan dengan Bintang. Rasi tidak mau diwawancarai.

Rasi pun melarikan tangannya ke leher saat pandangannya terjatuh untuk lantai. Helaan napas gusarnya terdengar berharap mama segera melepaskan pandangan darinya. Seperti kebiasan mama.

"Nggak, kok, cuma mau beli buku." Alasan yang klasik.

Karina memicing. Ia paham betul watak puteri semata wayangnya. Ketika berbohong, gadis itu pasti takkan menatap lawan bicaranya.

"Mau ke mana, Sayang?" tanya Karina, "Toko buku deket rumah tutup hari minggu. Emangnya kamu tahu kendaraan umum buat ke Gramedia?"

Skakmat. Rasi, 'kan cuek ya mana tahu lah!

"Ba-bareng sama Ser--"

"Rasi, mau ke mana? Tumben dandan kayak gini," ledek Wildan yang baru saja keluar dari kamar.

Binar mata Wildan dan Karina secerah hari di mana mereka belum sibuk bekerja. Secerah hari yang tampak samar di ingatan Rasi karena nyaris tak ada yang tergambar di benaknya. Mereka terpaku pada Rasi dengan sorot mata ingin tahu. Ini hal yang Rasi inginkan dari dulu, tapi justru karena hal itu dada Rasi menyempit tiba-tiba.

Ada retak keras di dada Rasi melihat kedua orang tuanya seperti ini. Seolah keluarga mereka baik-baik saja. Seolah keluarga mereka tak pernah sedingin kutub utara. Mereka bertanya seolah tidak ada yang salah akan pilihan mereka bekerja meninggalkan Rasi sendirian di rumah. Memeluk sepi. Mendengar ceritanya sendiri. Dan ketika Minggu tiba, Rasi harus berpura-pura senang akan kehadiran orang tuanya? Tidak. Rasi telanjur hancur dari dalam dan keretakkan kecewa di hatinya tak pernah tampak di mata kedua orang tuanya.

Cukup, Rasi muak sekarang.

Sudah jarang di rumah, tapi di saat Rasi ingin bebas harus dipertanyakan pula. Bukankah mereka jarang memperhatikan Rasi? Mengapa sok perhatian seperti ini?

Rasi terkekeh paksa. "Rasi mau beli buku sama Seril, Yah."

Wildan mengangguk. "Masih rutin latihan renang, 'kan? Kompetisi Nasional sebentar lagi lho, Ras," ingat Wildan yang Rasi balas anggukan malas.

"Masih. Rasi masih megang rekor ter-ting-gi di klub," ketus Rasi menekan kata tertinggi.

Wildan tersenyum."Syukur kalau gitu."

"Hm, iya."

Ya, bersyukur Wildan dan Karina tak pernah tahu apa yang Rasi lewati selama tiga bulan lebih. Mereka tak tahu rasanya tercekik seharian, rasanya tersiksa tidak bisa melakukan hal yang Rasi suka bahkan kedatangan sosok aneh yang selalu membuatnya gemetar ketakutan. Mereka tak tahu bahkan mungkin tak pernah ingin tahu.

Rasi pernah berusaha mengakhiri hidupnya. Bayang kematian oma benar-benar mengganggu tiap tidurnya. Hanya tepukan halus dan kata 'sabar, ya' yang terucap dari bibir Karina saat Rasi mendekam di kamar selepas kematian oma. Kata sabar yang begitu saja menguap karena setelah hari itu, Karina dan Wildan justru semakin jarang ada di rumah. Rasi merasa kesepian hanya berdua dengan oma dan ketika oma tidak ada, Rasi semakin kesepian.

Rasi pernah disarankan kedua temannya untuk memeriksakan diri ke psikolog. Vanya dan Seril hanya tahu Rasi begitu ketakutan berenang lagi, tapi mereka tidak pernah tahu apabila Rasi kedatangan sosok menyeramkan yang memang baru-baru ini terjadi. Rasi tak tahu harus memulai dari mana meminta bantuan pada orang tuanya karena yang perlu mereka tahu Rasi baik-baik saja, 'kan? Seperti yang mereka kira. Seperti yang mereka harapkan ketika mereka tidak ada di rumah.

Swimmer RollsWhere stories live. Discover now