Part 18 | Arfanisme Coret, Mending Jung-kookisme

9.2K 1.5K 506
                                    

📜 Emoji yang paling mewakilimu hari ini apa?

________________________________












DAFTAR keuntungan dan kerugian dekat dengan Arfan:

1. Makan hati sampai gumoh;

2. Imun dengan pick-up line prik;

3. Dihujani perhatian yang sering kali di luar nalar;

4. Baper.


Untuk poin terakhir, aku masih berusaha menyentilnya jauh-jauh.

Kalau kadar kegantengan si Paus sedang keterlaluan, aku akan mengingat fakta bahwa Arfan barongsai. Jika perhatiannya mengguncang imanku yang pas-pasan, aku akan mengingat bahwa Jung-kook saja masih jomlo di Korea sana. Tidak usah tergoda Arfan.

Apakah itu berhasil? Aku juga ngarepnya begitu, tapi tentu saja mimpi!

"Ra, kerja di BMKG pasti capek, ya?" Arfan melontarkan tanya di sela aktivitas mengemudi. "Saya yang lihat langit mendung tapi sejam kemudian cerah terus hujan aja berasa di-prank, apalagi kamu ya."

Aku menutup mata, menyamankan diri dengan bersandar di kursi. Lalu lintas Jakarta sore ini padat merayap saat Arfan menjemputku seusai kerja.

"Yah, begitulah. Forecaster cuma memperkirakan, sedangkan yang nentuin tetep Tuhan."

Seperti aku yang memperkirakan hubunganku tetap dalam batasan normal dengan Arfan, tapi Tuhan-lah yang berkuasa atas akhirnya. Pasrah tingkat dewa. Dia terlalu over qualified sebagai teman, tapi terlalu berengsek menjadi pacar.

Mataku terbuka sedikit untuk melihat Arfan yang manggut-manggut.

"Hm, kalau prediksi cuaca kamu meleset gimana?"

"Paling dimaki banyak orang." Setidaknya itu lebih baik daripada aku yang memaki hatiku habis-habisan sekarang. "Dihujat publik bukan hal baru lagi, Arfan. Risiko, sih. Kayak kamu kalau publikasiin berita ampas."

Kekehan Arfan lepas. "Betul juga. Ya gimana, cuma manusia biasa, kan, Ra. Bukan dewa yang bener sepanjang masa."

I love the way he connects our conversation. Lompatan pikiranku sama sekali tidak membuat Arfan kesulitan mengimbangi. Sefrekuensi, bahasanya.

Dia mungkin bukan tipe book smart--lebih ke street smart. Pengalaman membuat Arfan mengetahui banyak hal termasuk cara memanfaatkan kelebihannya dalam menggoyang keyakinanku.

Sudah kakak-adik bodong, lalu sekarang teman pun berasa bullshit.

Ya ampun, ada apa sih denganku? Masa sudah paham boroknya Arfan saja pikiranku belum lurus-lurus?

"Oh ya, Ra, soal syarat yang kamu ajuin..." kalimat Arfan memancingku menoleh, "kapan tenggat pemenuhannya? Saya belum sempet bongkar kardus barang-barang lama."

"Tapi masih ada, kan? Enggak dibuang?"

"Ada. Cuma saya lupa naruhnya di mana. Kayaknya sih di kardus."

Mataku menyipit. "Beneran bukan di tong sampah?"

"Enggaklah. Saya mana pernah buang mainan bocil, Ra," kelit Arfan.

Syarat yang dimaksud tadi adalah gimbot kesayanganku. Arfan pernah meminjam itu dulu, tapi belum dikembalikan dua puluh tahun. Aku bersedia menjadi partner si Paus di pernikahan Ana asal dia mengembalikan gimbotku. Entah bagaimanapun kondisinya.

Sounds childish? No. Benda itu merupakan mainan pertama yang Papa belikan untukku. Ada nilai sejarah dan memori berharga di sana. Sangat tidak tergantikan. Aku berniat menaruhnya di ruang kaca koleksi apartemen.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora