Part 10 | Master Terverifikasi

13.1K 2.4K 491
                                    

DUA belas tahun, tiga bulan, sebelas hari.

Detik seolah berubah menjadi dekade dan menit berubah menjadi konstanta perpisahanku. Selama itu Arfan menghilang dari duniaku, selama itu pula aku menghitungnya.

Manusia barangkali lupa akan kenangan masa kecilnya; hal-hal konyol apa yang pernah dia lakukan, kenakalan apa yang pernah dia perbuat, tetapi mereka tak akan lupa rasa apa yang ditinggalkan seseorang terhadapnya.

Penerimaan Arfan, caranya tersenyum padaku, caranya menemaniku agar aku tak merasa menjadi alien di lautan manusia... bertahun-tahun aku mencoba menemukan lagi rasa yang sama pada orang-orang yang datang dan pergi dari sisiku.

"Ra, kamu enggak akan pernah nemuin kebahagiaan yang sama di orang yang berbeda. Setiap orang punya kehangatannya masing-masing, yang jelas enggak sama antara satu dengan yang lainnya."

Tapi, Kadewa menegaskan itu. Dia masih jadi abang yang menyebalkan bagiku, namun adakalanya Kadewa menasihatiku banyak hal.

Aku bisa dibilang bawang konthong--nol besar soal lelaki. Makanya, Kadewa menjadi teman curhatku tentang hal-hal yang berhubungan dengan laki-laki termasuk ketidakmampuanku menemukan pengganti Arfan.

"Ra, Papa sama Bu Na emang bukan orang berada. Tapi, itu bukan berarti kami ngizinin kamu cinta-cintaan di saat pendidikan kamu aja masih butuh perhatian. Bu Na sama Papa enggak bisa ngasih kalian bekal selain pendidikan standar. Serius ubah nasib kalian dengan itu, ya. Jangan disia-siain," pesan Papa saat badai puber menyerangku.

Kuakui hidupku tak sepenuhnya menyenangkan semenjak keabsenan Arfan. Banyak hal yang terjadi, kadang membuatku lelah dan kadang memaksaku ingin menyerah. Namun, memori masa kecilku dengan Arfan sering kali menamparku kembali ke lajur kewarasan.

Ingatan masa kecil itu bisa bantu kamu pulih suatu saat pas udah gede dan ngalamin masa-masa yang kurang enak.

Ha-ha! Tidak kusangka aku benar-benar mempraktikkan ucapan si tengil itu sekarang.

"Kos di sini bayarnya per tahun, Neng. Enggak bisa per bulan."

Suara Ibu Kos menarikku dari lamunan panjang. Aku mengerjap linglung.

Oh, sial! Keasyikan menghalukan Arfan, aku sampai lupa kenyataan yang lebih penting. Soal tempat tinggal sebelum masa kuliah dimulai.

Muncul seraut wajah paruh baya dengan rambut yang dijepit tinggi. Kipas ilir dikibaskan berkali-kali di depan mukaku.

Aku mundur selangkah. "Uh, beneran enggak nerima kos per bulan, Bu?" ulangku.

"Enggak!"

Kulirik koper cokelat yang teronggok di ambang pintu. "Kalau per tahun enam juta, dapet jatah makan sekalian enggak?"

"Enggak, Neng. Enam juta aja udah termasuk murah. Rata-rata kos kamar mandi dalem di Bandung itu sepuluh juta ke atas," yakin Ibu Kos. "Itu aja masih bisa dikurangin semisal sekamar berdua. Saya sengaja patok harga segitu karena simpati sama anak rantau. Jadi ambil enggak ini, Neng?"

Diam sejenak. Benakku menimbang-nimbang pros dan cons tinggal di sini. Aish, gara-gara keterlambatan kereta, Kadewa jadi tidak bisa menemaniku mencari indekos yang cocok. Pekerjaan Abang sebagai masinis memang terkadang membuatnya sulit kuseret ke mana-mana dadakan. Selalu ketabrak jadwal.

Harusnya dia yang menegosiasi ini, malah aku sendiri. Padahal, aku kan masih buta kanan-kiri soal Bandung.

"Boleh saya lihat-lihat dulu, Bu? Nanti kalau cocok, saya ambil," putusku akhirnya.

Ibu Kos mempersilakan.

Kutinggalkan koper di ambang pintu untuk menjelajahi bagian dalam bangunan. Indekos ini terletak di tengah kota dan posisinya pun tak jauh dari kampus. Bangunan dua lantai dengan halaman berpaving luas dan taman minimalis. Sekilas lebih mirip vila ketimbang indekos.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now