Part 6 | Mawar dan Alien

14.9K 2.8K 683
                                    

ANGSA itu sungguh makhluk yang tidak berperikebocilan. Aku berlari ke kiri, dia ke kiri. Aku berlari ke kanan, dia ke kanan. Aku berlari lurus, dia terbang. Bokongku jadi korban.

Hewan itu benar-benar mimpi buruk, bahkan setelah Bu Na mengusirnya dengan sapu. Arfan menangis terisak-isak sambil memegangi bokongnya yang perih, sedangkan aku meratapi sandalku yang ketinggalan. Untung stoples cookies-ku terbawa. Kalau tidak, pasti sudah kujambak rambut Arfan karena seharusnya aku yang menangis, bukan dia.

"Pantatnya masih sakit enggak, Ra? Mau Bunda kompres es batu?"

Gagasan menempelkan bokongku ke bongkahan es membuatku linu. Aku jelas menolaknya dengan menggeleng kuat-kuat.

Kadewa cekikikan. "Dengan kekuatan angsa, aku kame-kameha Nara sampai jerit-jerit minta ditolongin Bunda...."

"Hush, Abang! Enggak boleh gitu sama Adek!" tegur Bu Na.

Disosor angsa itu satu hal, tapi diledek Abang setahun gara-gara itu merupakan efek yang paling membuatku jera.

Kadewa masih tertawa-tawa sembari menggubah beberapa lirik lagu Anak Kambing Saya untuk mengenang keapesanku.

"Mana di mana adik nakal saya. Adik nakal saya abis disosor angsa, hey! Nara disosor angsa. Nara disosor angsa...."

Hampir saja kupukul Kadewa andai Bu Na tidak segera merangkulku pergi dari ruang televisi. "Ssh... Nara bantuin Bunda nanem bunga di kebun, yuk? Jangan peduliin Abang. Biar Abang sendirian di rumah."

Huh! Anggap saja Kadewa beruntung kali ini. Kalau tidak, sudah kucakar mukanya.

Bu Na memakaikanku sarung tangan khusus berkebun berikut topi bundar yang berfungsi melindungiku dari panas. Beberapa pecahan genteng, pot tanah liat, gunting, dan sekarung tanah turut dibawanya dari garasi.

Aku mengernyit jijik ketika Bu Na menyuruhku membawakan wadah yang berisi eek kambing bau. Katanya itu pupuk.

"Elora bilang bukan dia yang metik kembang Bunda, tapi siapa lagi coba? Uh, sampai kapan pun Bunda enggak ikhlas kembang Bunda digundulin tanpa izin!"

Gerutuan Bu Na ampuh sekali dalam menghentikan protes maupun teriakan jijikku. Aku menelan ludah.

"Awas aja kalau pelakunya ketangkep! Bunda gunting tangannya sampe dia kapok!" Bu Na berkacak pinggang seraya mengacungkan gunting besar. "Bunda butuh obat sakit hati, Ra. Mau nanam kembang lagi. Kamu bantuin Bunda hari ini, ya."

Demi bunga yang kugunduli tempo hari, aku tidak berani mengeluarkan sepatah kata atau sekadar mengangguk. Seram.

Nyaris saja aku lupa Bu Na belum selesai berduka untuk bunga-bunganya. Sesakit-sakitnya pantatku sehabis disosor angsa kemarin siang, aku lebih takut lagi ketahuan sebagai pelaku yang Bu Na cari-cari.

Mengerjap sekali, kukerahkan segenap tenaga untuk membantu Bu Na pagi ini. Dari yang awalnya ogah-ogahan menjadi semangat berkebun setengah mati. Tujuannya apa? Tentu saja untuk menyelamatkan diri. Aku masih pengin hidup dengan kedua tangan.

Bu Na berjongkok menata pot tanah liat. Aku mengikutinya.

"Eh, kemarin kamu dikejar angsa sama cucunya Ibu Nyai itu gimana ceritanya, Ra?" tanya Bu Na di sela-sela kegiatan mencampurkan tanah, sekam bakar, dan eek kambing bau. "Kamu bobo gasik, jadi Bunda belum ngerti detailnya. Si Arfan ditanyain malah nangis kenceng."

Cih! Menangis?

Aku mencebik.

Bu Na percaya saja dengan akal bulus makhluk tengil itu. Jelas-jelas dia hanya berpura-pura. Aku yakin Arfan sengaja pasang tampang sengenes mungkin biar tidak usah menjelaskan jika dirinyalah yang cari gara-gara dengan kawanan angsa.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now