Part 34 | A Vow to Remember

10.5K 1.6K 845
                                    

HOW to delete Arfan' folder from my brain?

Suara, ketukan langkah, desah napas, hingga hawa kehadirannya aku hafal semua. Walau pintu gerbang rumah belum dibuka, aku tahu Arfan berada di baliknya.

Kadewa bereaksi keras. "Mau apa lo, anjing? Peringatan gue kurang jelas, hah?"

Ia sontak berlari keluar rumah diikuti Papa.

Great! Tamu tak diundang ini sepertinya mengundang kematian untuk dirinya sendiri.

Pelipisku berdenyut memikirkan peperangan jenis apa yang akan tercipta. Astaga, Arfan mabuk? Sinting? Bosan hidup? Bisa-bisanya kemari. Baik keluarga maupun orang terdekatku jelas tak ramah padanya usai insiden tempo lalu. Sekalipun itu bukan salah Arfan, pandangan mereka mana mungkin begitu. Arfan tetap dianggap terlibat.

Malas peduli, aku membalik badan dan memilih membantu Bu Na mencuci piring di dapur.

"Itu temennya Nara?" singgung Bu Na.

"Bukan." Mana mungkin aku menjawab iya. Yang ada Bu Na langsung mudeng Arfan-lah lelaki yang aku ceritakan di meja makan tadi. "Bukan temen, Bun. Sama sekali bukan. Cuma kenalan biasa. Mungkin dia enggak sengaja lewat, makanya mampir."

"Terus kenapa Abang marah gitu, Ra?"

Sial! Aku mungkin pintar dalam hal sains, tapi aku sangat payah dalam berbohong. Di depan orang tuaku, terutama.

Menggigit bibir, aku berhenti membilas piring. Menatap side-profile Bu Na.

"Dia Arfan...." Tak ada pilihan selain mengaku. Kalau lanjut bohong bisa-bisa cecaran Bu Na makin banyak. "Bu Na inget cowok yang dulu dimarahin gara-gara metik kembang di kebun? Dia cowok yang sama dengan yang aku ceritain di meja makan."

Gerakan Bu Na dalam menggosok penggorengan terhenti. Pelan tapi pasti, wajah senja dengan kacamata bertengger di batang hidungnya itu menoleh. Keningnya dihiasi lipatan kerut.

"Maksudnya, bocah yang gundulin kebun Bu Na dulu?"

"Bu Na inget?"

Ekspresi Bu Na masam. "Eiy, sepikun-pikunnya Bu Na, Bu Na enggak bakal lupa sama pelaku yang potelin kembang Bu Na, Nara. Aduh, edelweis cantiknya Bu Na kan dulu langsung mati. Baru kembang sekali padahal. Mawarnya juga gundul karena dipetik pucuknya. Ujungnya Bu Na buang, nanem bibit baru sama kamu, kan."

Mampus! Apa kabar jika aku mengaku akulah pelaku aslinya, bukan Arfan? Dari bocil sampai segede bagong gini, kesalahpahaman tersebut belum pernah aku luruskan.

"Em... anu... sebenernya pelakunya bukan Arfan, Bun." Menelan ludah, intimidasi Nyonya Ahli Sejarah ini betul-betul membuatku tremor. "Bu Na salah paham. Arfan sama sekali enggak metik kembang Bu Na."

"Lha, saha kalau bukan Arfan?"

Aku diam. Skala satu sampai lima, kejadian itu termasuk luar biasakah jika sampai diingat orang tua bertahun-tahun?

Tuhan, ini sama kasusnya ya dengan menghilangkan Tupperware? Apa sehabis ini aku bakal dicoret dari Kartu Keluarga?

"Nara..." cicitku takut-takut. "Na-Nara Bocil pe-pelakunya, Bun. Dia kan nakal banget dulu. Beda sama Nara Gede."

Lepas sudah. Memendam sampai mati rupanya mustahil. Pada suatu titik, tagihan jujur pasti menggentayangi orang yang berbohong.

Hening. Bu Na memandangku tanpa berkedip. Tidak tersirat ekspresi apa pun di wajahnya sampai membuatku ketar-ketir.

"Oh..." respons Bu Na. Ia manggut-manggut. "Nara Bocil, toh? Dipikir-pikir emang enggak mungkin, sih, bocah lanang mainan kembang. Enggak heran Nara pelakunya, bukan Arfan."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now