Part 19 | A Lonely Whale

8.4K 1.4K 228
                                    

BILA Arfan berusaha memukulku mundur, maka usahanya berhasil. Ucapannya spontan membuatku tersurut ke belakang hingga menyentuh kardus. Terpojok.

"Kenapa? Bukannya tadi kamu bilang enggak ada yang bisa bikin kamu mundur, Ainara?" Seringai Arfan jelas mencemooh. "Segini nyali kamu?"

Aku menepis tangannya dari wajahku, berniat menghajarnya balik dengan rentetan kalimat sarkastik namun justru membatu.

"Tell me, apa kamu suka beromong kosong?" provokasi Arfan. "Kamu enggak--"

"You're burning up," potongku sebelum Arfan menandaskan ucapan nyelekitnya. Aku menempelkan punggung tangan ke keningnya. "Kamu demam, Arfan. Pusing? Dingin? Mau baring aja atau kompres?"

Baru sadar wajah Arfan sedikit pucat. Meski tatapannya luar biasa tajam, ia kelihatan letih. Cek temperatur leher hangat, lengan atas dan telapak tangan pun sama. Hanya telapak kaki saja yang dingin. Mungkin masuk angin.

Arfan tertegun. Ia menatapku tanpa berkedip, mungkin terkejut akan perubahan sikapku.

"Sedikit," jawab laki-laki itu singkat. Ia ganti mengecek keningnya sendiri. "Mungkin gara-gara kurang istirahat. Saya masih kesusahan adaptasi sama pace aktivitas di Jakarta."

Dalam sekejap, mode kutubnya cair asal bahasan tadi dihentikan. Aku mengamatinya.

Ingin rasanya aku lanjut mengonfrontasi agar teka-teki di kepalaku terjawab. Namun, berdebat dengan orang sakit bukan hobiku. Arfan lebih perlu beristirahat ketimbang emosi tingkat ubun-ubun.

I'm good at words fight. Tidak peduli dia jurnalis, aku bisa dengan mudah memancing luapan emosinya, lalu menyerangnya di titik rentan... sampai dia tanpa sadar menguak alasan.

Bila pun informasi yang tersaji hanya sepotong-sepotong, aku bisa merangkainya dan menghamparkannya ke depan Arfan.

Kutepuk celana panjang sebelum berdiri. "Sana istirahat. Biar aku yang cari gimbotnya sendiri. Entar kuberesin balik barang-barang kamu," suruhku.

Arfan mengurut kening. "Maaf."

Entah itu permintaan maaf atas kelakuan kasarnya atau karena tidak bisa membantu, aku hanya mengangguk tanpa ekspresi.

"It's okay."

Kuanggap maaf untuk dua-duanya. This is not over.

Kali ini, aku akan mundur sejenak demi mengatur ulang strategi. Mendekati Arfan tak bisa dilakukan secara agresif. Layaknya paus, dia seorang pengembara yang telah menyelami laut terdalam di hidupnya. Nyanyiannya keras, tapi itu hanyalah kamuflase agar tak ada yang bisa menyentuh kedalaman emosinya.

Arfan mengayunkan kaki ke kamar, sementara aku berjongkok di depan kardus. Selang dua menit, ia kembali lagi ke ruang tamu dengan membawa selimut dan dua bantal.

"Jangan duduk di situ, Ra." Arfan menarikku berdiri, menaruh bantal duduk di tempatku sebelumnya. "Walau ada karpet, entar lama-lama pantat kamu kebas kalau enggak pake alas. Dah, silakan duduk lagi."

Tak hanya itu, Arfan juga menekan remote untuk membuka tirai apartemen. Cahaya matahari membanjir masuk, membuat ruangan ini terang benderang. Pemandangan langit sore Jakarta turut membiaskan sosok Arfan yang kini berbaring nyaman di sofa panjang.

"AC-nya enggak usah dinaikkin, ya. Nanti kamu kegerahan, Ra. Biar saya aja yang selimutan." Arfan tersenyum tipis, sementara matanya mulai memejam. "Sekalian tolong bukain pintu semisal saya enggak kebangun. Saya udah pesen makanan tadi, Ra."

"Noted." Aku mengangguk kaku.

Kurasa inilah alasan Arfan memilih tidur di sofa alih-alih kamar. Dalam keadaan sakit pun dia masih begitu peduli, membuat keteganganku kendur dengan sendirinya.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now