Part 27 | Crush Crash

9.5K 1.4K 632
                                    

SUHU terdingin pada struktur vertikal atmosfer ada di lapisan mesosfer. Sekitar minus sembilan puluh derajat Celcius, awan tertinggi bisa diamati di sini.

Aku berharap tubuhku mengecil jadi partikel awan mesosfer saat ini juga. Kalau tidak bisa jadi awan, jadi debu alien pun tak apa deh asal jangan bertatap muka dengan saksi kegilaanku bersama si Paus.

"My precious eyes, saya minta maaf udah menodai kamu. Saya janji habis ini bakal suciin kamu sepuluh kali," gumam Deo sambil mengelus-elus matanya.

Tendangan Arfan datang dari bawah meja. "You, dumbass! Tahu yang namanya budaya ketok pintu, hah?"

"O-ow, maaf, Kakak Ipar. Besok saya ulangi lagi, deh."

Kepalaku makin tertunduk dalam. Tolong hilangkan aku dari sini, Tuhan.

Bibirku masih terasa panas dan bengkak saat Arfan mengajak berpindah ke kafe seberang butik. Aku lantas mengiakan demi menghindari rasa malu berkepanjangan. Sedetik pun tak melepaskan tangan dari mulut.

"Enggak usah peduliin si kunyuk, Ra. Hobi dia emang naikkin tensi," sungut Arfan, sama sekali tak terlihat canggung sekalipun baru disindir habis-habisan. "Omong-omong sesuai perkenalan singkat tadi, ini Deo. Halal juga dipanggil ondel-ondel pas ngeselin."

"Heh, ipar sesat!" omel Deo, namun tak pelak mengulurkan tangan. "Deo, sisi terang si berengsek ini. Hubungi saya kalau kamu ketularan sinting seperti Arfan, Nara."

"Nara." Aku membalas jabat tangannya meski aslinya pengin mengubur diri. "You are the soon-to-be bride, right?"

"Ya, terima kasih kamu bersedia hadir walau ketiban sial jadi pasangan Arfan."

Aku memaksakan senyum. Untuk mengurangi kadar rasa maluku, percakapan ini harus secepatnya dialihkan. Terberkatilah Deo karena mau mengikutinya.

Arfan menepak keras punggung tangan Deo yang masih menjabat tanganku dengan kotak tisu. Laki-laki itu mengaduh sampai menarik tangannya.

"Jaga batasan lo, kampret! Salaman enggak usah kelamaan!" sergah Arfan.

Entah aku mesti tertawa atau menangis, bisaku cuma menunduk sewaktu si Paus mengulurkan tisu. Garis bawahi beserta kotaknya. Sementara itu, punggung tangan Arfan mengusap-usap bibir merahnya tanpa henti.

Sumpah, makhluk ini kok tidak ada malu-malunya kepergok kissing di fitting room? Aku saja pengin amnesia begini, masa Arfan santai?

"Ana belum kelar?" Si Paus dengan apik memindahkan topik. "Kok kalian keluarnya enggak bareng? Jangan bilang lagi berantem?"

"Memangnya kapan kamu lihat saya ribut sama Ana, heh?" Nada Deo berubah sinis. "Ana lagi konsultasi soal diet dan sebagainya ke pengatur gaya. Lama, jadi saya disuruh keluar cari makan. Dia tahu saya belum makan dari siang. Daripada sendirian, saya ajak kamu sekalian, and that pollution happened."

Disinggungnya kata polusi kian memperbesar rasa malu yang melandaku. Wajahku membara sampai buru-buru bangkit dari kursi.

"A-aku mau ambil tas bekal dulu di mobil. Ta-tadi aku bawa itu dan keinget belum sempet makan siang juga," kataku cepat.

Kedua lelaki itu serentak mendongak.

"Perlu ditemenin, Ra?" tawar Arfan.

"Enggak usah!" Tolakan itu hampir mirip jeritan panik. Sadar, aku berdeham. "Ma-maksudnya, kasihan Deo kalau ditinggal sendirian. Mobilku enggak begitu jauh, jadi aku bisa sendiri. Kamu di sini aja, Arfan."

Si Paus tampak menimbang sesaat, lalu mengangguk. "Oke. I will wait. Tapi itu tas kamu enggak usah dibawa, ya. Sini aja, biar saya yang jagain."

Hancur sudah niatku melarikan diri. Arfan ini betulan susah dikelabui.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang