Part 37 | A Tidal Wave

11.1K 1.6K 811
                                    

KALAU mau cari kumbang, pergilah ke kebun bunga. Kalau mau cari lalat, pergilah ke tong sampah. Tidak bisa perempuan ingin dapat kumbang, tapi mencarinya di tong sampah.

Sialnya, aku tidak sedang mencari kumbang ataupun lalat. Mager. Penginnya cuma cari duit dengan pergi ke kantor. Terus ngapain aku terjebak di sini?

"Fathan?" sebut Arfan tanpa nada.

"Siapa, ya?" Alis Fathan mencelat naik. Bergantian, ia menatapku dan Arfan. "Temen lo, Ra?"

Canggung. Aku bisa merasakan hawa-hawa kurang mengenakkan menguar dari bahasa tubuh si Paus. Entah kenapa tiba-tiba aku ingin menyembunyikan Fathan dari jarak pandangnya.

"I... ya, temen." Anggukanku teramat kaku. "Udah, kan, Than? Nanti sepulang kerja, aku juga mau nyari baju. Kamu chat aja semisal pengin bareng."

"Sip, sip. Omong-omong, ini sisa minumannya buat gue, ya? Ketimbang mubazir."

Tanganku sudah terangkat mencegah, namun terlambat. Fathan keburu membuka tutup gelas plastiknya dan menyingkirkan sedotan. Minum dari gelasnya langsung.

Sumpah, aku tidak berani melirik Arfan. Fathan juga, kenapa sih dia tidak modal? Itu kan minuman dari Arfan. Se-awkward apa rasanya melihat minuman yang kamu belikan malah diminum oknum penjarah tepat di depan mata?

Edan. Otaknya Fathan pasti segitiga. Aku tahu dia berasal dari tanah, tapi mbok yo jangan pengin buru-buru kembali ke tanah dalam waktu secepat ini.

Aku menarik tangan Arfan, menggandengnya memasuki lobi. Buku-buku jarinya kentara sekali mengepal, lalu aku mengusap punggung tangannya menggunakan ibu jari.

"Maaf, ya. Fathan emang kebiasaan gitu."

"Dia celamitan ke kamu doang atau ke semua orang, Ai?" Arfan mengeratkan genggaman tangan. Rahangnya masih tegang. "Andai enggak lihat tempat, udah saya tonjok dia. Tapi di lain sisi, saya juga bersalah enggak pertimbangin kamu masih proses pemulihan. Malah lalai ngasih ice americano pagi-pagi demi bikin kamu terkesan. Maaf."

Langkah kakiku sontak terhenti di ambang pintu lobi. Aku berbalik.

Terkesan? Apa telingaku tidak salah dengar?

"Enggak perlu minta maaf. Aku juga lagi pengin minum itu." Raut wajahku dijaga tanpa emosi. Wow, Arfan yang seterbuka ini tak henti-hentinya membuatku terkejut. "And I'm impressed. Thanks."

"Hah?" Arfan malah melongo.

Ya ampun, andai tidak ingat resolusi antibucin, sudah aku towel pipi si Paus. Potongan rambut Korean style membuat Arfan kelihatan unyu saat kedip-kedip linglung begitu.

"Kamu bilang apa, Ai? Ulangin coba."

Aku melengos. "Enggak bilang apa-apa. Udah, ah. Ayo, jadi masuk enggak?"

"Ulangin dulu, Ai. Saya pengin denger. Kamu terkesan gara-gara saya?"

"Enggak ada."

"Just once, please...."

"Udah hangus." Aku mengempit bibir, sengaja melarikan mata ke segala arah asal bukan wajah memelas Arfan.

Apa sih orang ini? Kayak belum pernah dipuji saja. Pokoknya tidak ada ya sejarah mengulang pujian bagi seseorang dengan gengsi setinggi atmosfer. Cukup sekali.

Arfan merengut, yang membuatku mati-matian menahan tawa. He is so damn cool on the outside, but clingy inside. Aduh, kenapa aku jadi gampang gemas begini, sih?

Tahan, Ainara. Tahan. Ingat, dia itu paus. Sekali lengah bisa-bisa kamu dicaplok.

"Permisi, Kak. Saya mau ambil titipan dari Aldefathan."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Donde viven las historias. Descúbrelo ahora