Part 20 | Signature Hurricane

8.4K 1.4K 594
                                    

TOPAN sering kali terjadi saat pergantian musim. Selama ini, aku mengira topan hanya berwujud angin, bukan manusia. Hari ini aku mengerti betapa salahnya anggapan tersebut.

"Uh, ini apartemen Arfan, kan?"

Wajah itu masih sama. Caranya menegakkan dagu masih sama. Suaranya, senyumnya, tatapan memindainya... aku terhuyung ke belakang. Pikiranku blank.

"Katanya Arfan tinggal di unit ini. Arfan-nya ada?" ulangnya sekali lagi.

Dia... Elora Cantika. Versi mimpi burukku dalam tubuh orang dewasa. Sosok yang memenjarakanku dalam klaustrafobia, merundungku enam tahun lamanya, mengataiku alien bersama teman-temannya, hingga mengunciku di kelas dengan tawa pongahnya.

Lututku nyaris kehilangan daya topang detik itu juga.

"Kalau enggak ada, nitip ini buat Arfan, deh. Bilang aja dari Elora." Menyadari respons diamku, Elora menaruh totebag di depan pintu. "Itu buku yang Arfan cari. Udah aku beliin. Bilang uangnya enggak usah diganti buat barter traktirannya kemarin, ya. Thanks anyway."

Selesai menyampaikan pesan, Elora berlalu pergi usai memberiku senyum singkat. Seulas senyum yang memulihkan kesadaranku sejadi-jadinya.

Elora... traktiran?

Dalam mimpi paling absurd sekalipun, aku tidak pernah membayangkan pertemuan semacam ini. Parahnya lagi, mengorelasikan Arfan dan Elora.

No. Jangan katakan Arfan mengenal Elora? Sejauh mana perkenalan keduanya? Apa sebatas teman masa kecil seperti aku dan Arfan? Mengapa aku baru tahu tentang ini sampai-sampai merasa kejeblukan bom atom?

Perutku melilit ketika suara langkah kaki terdengar mendekat.

"Lagi ngapain di pintu, Ra? Makanannya udah dateng?"

Arfan mengucek-ngucek mata, menyeret langkah ke sisiku. Ia melongok sebentar ke luar apartemen, namun tidak menemukan siapa-siapa. Berniat menutup pintu, ganjalan di bawah kaki menghentikannya.

"Ini...?" Tatapan penuh tanya Arfan membuatku menelan ludah gugup.

"A-anu..." Aku menyembunyikan tangan yang gemetar ke belakang tubuh. Sedapat mungkin menyamarkan raut terguncang. "Te-temen kamu nganterin itu tadi. Ka-katanya buku yang kamu cari. Uangnya enggak usah diganti. Itung-itung pe-pengganti traktiran ke-kemarin," cicitku terbata. Getaran dalam suaraku sama sekali tak bisa menipu.

Elora adalah psychological shadow yang belum mampu kutepis dari kepala. Tahun-tahun hanya membantuku mengurangi efeknya, bukan melupakannya sepenuhnya.

Sebut aku pendendam. Namun, nyatanya tidak mudah menghadapi orang yang pernah membuatmu dikucilkan semasa kecil. Hanya menyebut namanya saja bisa mengintimidasiku, apalagi berhadapan langsung. Satu 'hai' darinya menyerap energiku habis-habisan.

This is the real effect of bullying.

Aku sanggup menghadapi presiden, mafia, jenderal, panglima--sebutkan saja tokoh terkemuka--asal jangan Elora. Jangan dia. Bertahun-tahun aku menghindarinya, mengapa kini kami harus bertatap muka?

Arfan menyentuhkan telapak tangannya ke keningku.

"Kamu keringetan, Ra. Kenapa? Panas?" tanyanya. Hangat suhu tubuhnya membuatku tersadar dia masih demam. "Ayo, masuk. Turunin aja suhu AC-nya. Sampe keringetan banyak gini."

"Enggak usah, Arfan. Cu-cuma gerah dikit kok," dalihku.

Kaki Arfan menggeser totebag pemberian Elora lantas menutup pintu. Seolah tak peduli sepenting apa isinya, ia mencampakkannya di dekat rak sepatu begitu saja. Memilih menuntunku duduk di sofa ruang tamu.

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now