Part 1 | Narampong

28.3K 3.5K 601
                                    

KEBANYAKAN anak kecil itu hidup di dimensinya masing-masing. Fakta tersebut kusadari ketika aku dianggap mengesalkan karena berkata daun teh-tehan adalah daun biasa, bukannya uang. Kue-kue menjijikan itu tanah liat, bukan kue betulan. Barbie yang Elora gendong itu boneka, bukan anak bayi yang lucu.

Label penghancur imajinasi otomatis kusandang sewaktu usiaku baru menginjak tujuh tahun.

"Mainnya yang rukun sama Elora, dong, Ra." Bunda menempelkan plester bergambar dinosaurus di keningku. "Kok bisa sampe luka gini, sih?"

"Itu karena Naranya aja yang pekok, Bun." Abang menimbrungi meskipun perhatiannya tak teralih dari kartun Dragon Ball. "Elora yang mukul Nara pake truk-trukan, Elora juga yang nangisnya paling kenceng. Haduh, Ra... harusnya kamu akting jadi anak yang paling teraniaya, dong. Biar seru."

Ada alasan khusus kenapa Abang dinamai Kadewa Caraka Bayukana. Dia memang dewa... dewanya huru-hara.

Bu Na langsung menegurnya, "Abang! Enggak boleh ngajarin Adek yang enggak-enggak! Cuma Elora yang nangis aja gempar se-RT, apalagi Nara ikutan."

Itu benar. Hari masih pagi saat kompleks rumahku digegerkan dengan tangisan Elora. Bibirnya yang tipis memang juaranya dalam menghasilkan polusi telinga.

Semula, Elora melarangku memainkan ayunan kosong di taman bermain dekat rumah. Padahal, jelas-jelas dia sedang asyik mengulek adonan tanah liat yang disuapkan ke bibir si Barbie bersama teman-temannya, sama sekali tak menyentuh ayunan.

Nah, karena aku bosan, nekat saja kududuki ayunan itu. Kata Kadewa, taman kan milik bersama, bukan punya Elora. Lalu, Elora tidak terima. Dia dan ketiga temannya lantas berusaha menjauhkanku dari ayunan.

Kubilang, "Papaku bayar iuran RT setiap bulan! Taman ini fasilitas umum, bukan punya Elora!"

Aku tahu karena setiap akhir bulan Papa sering mengeluhkan itu. Kas RT, dasawisma, arisan, uang keamanan, dan rupa-rupa iuran katanya sungguh memusingkan.

Kepusingan itu seharusnya termasuk bukti bahwa aku, Kadewa, Bu Na, dan Papa berhak menggunakan fasilitas yang tersedia di kompeks, kan? Jadi, punya hak apa Elora melarangku?

"Enggak boleh! Alien enggak boleh main ayunan! Nanti Sisi takut!" Elora melotot. Sisi itu nama Barbie yang digendongnya dengan jarik. "Nara pergi! Pergiiii...."

Kemarin aku dibilang alien karena tidak suka main panas-panasan. Hari ini aku bersedia panas-panasan sambil ayunan masih dikatai alien juga?

Kucampakkan ayunan dengan sedikit kesal.

"Aku bukan alien! Elora yang alien! Mainnya sama boneka jelek, disuapin tanah, terus pake daun buat bayar!"

"Itu Sisi, bukan boneka jelek! Makannya kue, bukan tanah. Belinya pakai duit, bukan daun!" jerit Elora.

"Bukan! Itu boneka jelek, tanah kotor, sama daun! Sisi alien!"

"Nara yang alien, bukan Sisiiii...!"

Sebelum aku sempat menghindar, truk-trukan kuning jelek yang Elora pakai untuk mengangkut tanah mencium keningku sampai berdarah. Tangisan melengkingnya mengikuti sampai orang-orang di jalan mencoba menahan tangannya yang berusaha memukuliku.

Aku langsung digendong Kadewa menjauh. Abang katanya melihat pertengkaranku dan Elora dari jendela rumah, makanya buru-buru mengamankanku dari lokasi peperangan.

Bu Na mengusap rambutku yang kotor karena tanah. "Elora itu sepupu kamu, Nara. Dia lebih muda. Harusnya kamu banyak ngalah sama dia, ya, Nduk."

"Bener tuh, Ra. Ngalah terus getok palanya sebelum kabur," sambung Kadewa. Kepalan tangannya terangkat. "Entar Abang bantu sorakin dari jauh. Berani bener dia ngusik anak dari hasil persatuan dua klan."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now