Part 40 | A Gigantic Jet

11K 1.5K 574
                                    

KEKUATAN sambaran petir mencapai lima belas juta volt. Bukan gosong lagi efeknya jika terkena badan, melainkan langsung pindah alam.

Aku curiga akal sehat Arfan tersambar itu, makanya dia jadi tidak berakal. Buktinya mengaku-ngaku aku calon istrinya.

"Mohon maaf atas kesalahpahamannya. Nara enggak ada hubungan sama Fathan, kecuali temen."

Lagi, bukan aku yang mengklarifikasi, melainkan si Paus. Nadanya final dan tak menyisakan ruang bantahan bagi siapa pun.

Tante Imel mengulas senyum canggung, demikian kerabat Fathan yang lain. Sayang, Arfan mengabaikannya dengan menarikku pergi. Kerumunan terbelah, Arfan dengan cuek melenggang menuju pintu keluar.

Ia baru melepas rangkulan sewaktu kami tiba di parkiran.

"Ainara Serafina." Lengan Arfan memenjarakanku di dinding. "Can we play a fair game?"

Mataku mengerjap-ngerjap. What the fudge is that? Harusnya aku yang marah, kenapa jadi Arfan?

Kontrasnya tinggi badan kami membuatku sejenak bergeming. Posisi Arfan terlalu dekat. Kalau mendongak, aku bisa mencium Adam's apple-nya.

"W-what are you saying?" Pertanyaan payah itu keluar untuk menutupi kegugupan. "A-aku enggak pernah janjiin apa pun ke kamu. Harusnya kamu ngerti itu, Arfan."

"Saya ngerti. You're clear about this--enggak gampang buat yakinin kamu. Jalan saya bakalan terjal." Embusan napas Arfan menyapu pipi. "Saya pun enggak minta kamu percaya segampang itu. Tapi, Nara..." jeda sejenak. Kepala Arfan jatuh menyandari bahuku, "kamu juga tahu saya punya masalah kepercayaan."

Dengan kata lain, Arfan tidak menyesali tindakannya. Dia memakai justifikasi masa lalu buruk untuk membenarkannya.

Aku mendorong dada Arfan menjauh. "Ada banyak cara yang bisa kamu pake buat jelasin kesalahpahaman statusku dan Fathan. Enggak harus ngaku aku calon istri kamu."

"Lalu, gimana sama temen-temen yang comblangin kamu, Ai?"

"Kamu percaya aku bakal segampang itu ngeiyain tanpa nolak sama sekali?"

"Saya percaya kamu, tapi enggak dengan cowok di sekeliling kamu."

"Kenapa? Takut aku berpaling kayak Elora?" lawanku sengit.

Arfan seenak jidat mengklaimku sebagai calon istri di depan banyak orang, di mana teman-teman alumniku menyaksikan, di hadapan pelaminan, dan mengunci peluangku mendapatkan laki-laki selain dirinya.

Lebih mengesalkannya lagi, dia melakukannya akibat dorongan masa lalunya. Alasan bobrok macam apa itu?

"Aku bukan Elora, mantan-mantan kamu, atau orang yang pernah bilang cinta tapi berujung nyakitin kamu, Arfan," tegasku tanpa bisa menutupi kemarahan. "Berhenti proyeksiin pengalaman buruk kamu ke aku! Berhenti ngelakuin sesuatu cuma buat lindungin rasa takut kamu tentang pengalaman buruk yang bakalan terulang!"

Dia takut kehilangan zona nyaman, makanya mengejarku yang memblokirnya. Dia takut aku berpaling, makanya bilang aku calon istrinya tanpa persetujuanku sama sekali.

Tidakkah Arfan sadar berapa kali aku melampaui batasku sendiri? I gamble my heart.

Entah Arfan mengatakan suka hanya karena menghargaiku atau benar-benar punya rasa padaku, aku menerjang probabilitas kecewa dan bahagia demi membantu Arfan menyadari perasaannya yang sebenarnya.

Cuma untuk inikah?

"Saya tahu kamu bukan Elora, Ai." Arfan menyugar rambut dengan raut frustrasi. "Sayangnya, rasa takut itu tetep enggak bisa dihilangin. Kamu harapan pertama saya setelah sekian lama saya hidup demi rasa bersalah. Karena kamu, saya berani berharap untuk diri sendiri lagi."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now