Part 33 | Ocean of Feelings

10.8K 1.6K 884
                                    

PESAWAT terbang meninggalkan awan contrail sebagai jejaknya. Meteor meninggalkan garis cahaya sebagai jejak lintasannya. Namun, Arfan meninggalkan overthinking sebagai jejak kehadirannya.

Aku menatap datar pesan yang Arfan kirimkan. Smart people, ignore. Wise people, just read. Berhubung aku bukan dua-duanya, maka aku memblokirnya.

"Karena 'hai' sedetik, rusak move on sebelanga." Aku memejamkan mata sekilas. "Udah, Ra. Udah. Si Paus emang jago main tarik-ulur. Biarin aja."

Terserah Arfan mau apa. Aku capek membatin terus, kepikiran tanpa henti, dan menerka-nerka. Dia seperti rollercoaster.

Kantong emosionalku sudah tidak tersedia untuk menanggapi. Tamat. Silakan Arfan mau salto, kayang, jumpalitan, aku lelah merusak hari-hariku dengan ketidakpastian.

"Apa itu, Nduk?"

Papa bertanya ketika aku melangkah ke dapur untuk mencari korek.

"Oh, cuma barang lama yang harus dibakar." Aku tersenyum sedikit supaya Papa tidak curiga. "Korek ada, Pa?"

"Ada, tapi jadwal bakar sampah bukan hari ini." Papa meringis. "Taruh aja di kotak garasi, Ra. Nanti Papa bakarin. Ini perkampungan padat penduduk soalnya. Kalau asal bakar bisa didemo tetangga yang jemurannya kena asap."

"Oh iya." Aku ikut meringis.

Terlalu lama tinggal di apartemen sepertinya membuatku lupa aturan tak tertulis itu. Akur dengan tetangga adalah koentji hidup damai di sini.

Mau tak mau, aku membelokkan langkah ke garasi.

Sepertinya Tuhan sengaja menakdirkan pembuangan masa laluku tak bisa dilakukan hari ini. Buktinya mau bakar kenangan saja perlu menunggu jadwal.

Ya sudahlah, ikuti aturan mainnya. This is a game of letting go.

"Bu Na penasaran, ih. Itu keningnya Nara kenapa dijahit, Abang?"

"Tanya sendiri ke Nara, Bun. Entar kalau aku yang jelasin malah mancing perang."

Sayup-sayup percakapan dua orang membuatku tidak jadi memasuki ruang makan. Kotak sampah sudah ditaruh di garasi, niatnya aku mau lewat pintu samping untuk balik ke kamar. Nyatanya obrolan Kadewa dan Bu Na memaku kakiku di balik pintu.

Bu Na berdecak. "Kamu, nih... Bunda penasaran malah disuruh nanya sendiri. Dasar! Bunda tuh khawatir, Abang. Adek tiap diminta pulang selalu nolak, tapi ini tiba-tiba pengin cuti lama di rumah. Orang tua mana yang enggak kepikiran coba? Adek lagi ada masalah, ya? Kerjaan?"

"Tanya sendiri atuh, Bundaaa--aw! Jangan cubit."

"Makanya, apa susahnya jelasin?" dumal Bu Na. Sepertinya ia sukses mencubit pinggang Kadewa. "Bunda sogok pake rendang aja Nara belum tentu mau buka mulut. Kamu kan tahu sependiem apa adek kamu. Curhat bukan gaya Nara sama sekali."

"Mungkin Bu Na sama Papa kudu bener-bener pasang telinga, baru deh Nara bersedia terbuka."

"Maksudnya, selama ini Bunda enggak pernah dengerin Nara gitu? Ih, mana ada atuh!"

Aku tersenyum tipis.

Ya, sudah lama aku berhenti bicara karena tahu aku tak didengarkan dengan benar. Segala masalah dipendam sendirian. Tempat berbagiku hanya Gladys dan Arfan. Cuma mereka yang tidak menyepelekan apa yang aku rasakan. Seluruh emosiku divalidasi, bukan bahan mengkritisiku lagi dan lagi.

"Elora bilang Nara alien."

"Oh, kamu yang enggak bisa ngimbangin Elora kali, Ra, makanya dikatain alien."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now