Part 21 | Uncrush Dopamine

9.2K 1.3K 435
                                    

CUACA hari ini buruk, sama buruknya dengan suasana hatiku. Rintik hujan terus turun dari subuh, mengusir polusi yang menyelimuti kota.

Aku tak bisa diam sejak tadi. Entah mengolah data dari observasi permukaan, koordinasi dengan BMKG pusat, atau bolak-balik ke pantri untuk menyeduh kopi. Apa pun asal ucapan Arfan kemarin lenyap dari benakku.

Plusnya lagi, kamu sepupu Elora, mantan pacar saya.

Mantan? Aku saja tidak tahu kapan Arfan akrab dengan Elora, tahu-tahu mereka sudah jadi mantan? Demi Tuhan, dari sekian miliar lelaki di bumi, kenapa harus Arfan, sih?

Kepalaku hampir pecah memikirkan sekacau apa makan malam kami kemarin.

Ralat, hanya aku yang merasa kacau sementara Arfan biasa-biasa saja. Dia bahkan makan dengan lahap kendati lidahnya terasa pahit efek sakit. Aku yang tidak tahan pada akhirnya memilih pulang begitu makanku selesai.

"Arfan, Elora..." gumamku kesekian kali.

Sif kerjaku hari ini berakhir tanpa kendala. Gerimis menyambut para pejalan kaki yang melintasi trotoar. Udara cukup dingin, sayangnya belum mampu meredakan panas yang menyelimuti kepala.

Aku mendesah penat ketika berbelok ke kafe. Mungkin segelas ice americano mampu mengembalikan kesejukan pikiranku.

"Yo, ini anak di-chat dari semalem enggak bales. Tahu-tahu nongol di sini."

Sindiran Gladys menyapa begitu pantatku menyentuh kursi dekat jendela. Dia tidak sendirian. Ada Fathan yang datang bersamanya.

Mataku terpejam sesaat. "Sibuk, Dis. Enggak sempet ngecek notif."

Lebih tepatnya sibuk overthinking soal Elora dan Arfan. Kantong mataku cukup menjelaskan jika tidurku kurang nyenyak semalam. Boro-boro mengecek ponsel. Hari ini masih waras saja bersyukur minta ampun.

Gladys lantas pindah duduk ke sebelahku.

"Capek, ya, Bu?" Ia memijat-mijat lenganku dengan cengiran meledek. "Duh, sabar. Badai pasti berlalu kok. Berlalu lalang."

Fathan ketawa-ketiwi di seberang meja, sedangkan aku melirik sewot.

"Seenggaknya kasih support moral, kek, Dis. Malah demotivasi gini."

"Support moral? Auch, gue aja enggak bermoral."

Jleb banget omongan Gladys sampai tembus ubun-ubun. Sudahlah, jangan berharap dapat kata-kata penyemangat ala motivator kalau dengan Gladys. Dia ini tipe realistis bin hobi bikin meringis.

Aku mengibaskan tangan kala Gladys ngeloyor pamit ke ruang manajer sembari tertawa-tawa. Seperti biasa, dia pasti kemari untuk pengecekan rutin.

"Baru pulang kerja, Ra?"

Pertanyaan Fathan mengalihkanku. Oh, aku lupa masih ada sosok lain di meja ini.

Aku mengangguk. Tak sempat bersuara lantaran pramusaji lebih dulu mendekat untuk mencatat pesanan. Ice americano satu, kue putu seporsi.

Fathan tersenyum. "Lo masih suka ice americano ternyata," ungkitnya ketika kami ditinggal berdua. "Enggak berubah dari zaman kuliah, ya. Setia amat sama tuh minuman."

"Kamu juga setia amat gagal move on dari Gladys, Than," sarkasku.

Sori, suasana hatiku sedang tak keruan. Tak minat bersosialisasi atau beramah-tamah dengan lelaki.

Alih-alih tersinggung, Fathan malah tergelak. "Njir, pedesnya juga masih sama. Asli bestie-nya Gladys sampe ke sumsum tulang lo, Ra."

"Ya emang sohibnya, Than."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now