Part 39 | A Dewdrop Away

11.2K 1.5K 828
                                    

BARANGSIAPA mengungkit masa lalu, niscaya dia kena getahnya.

Aku sudah cukup overdosis dengan getah semenjak mengenal Arfan. Mulai dari getah tipis-tipis sejarah permantanan, getah burik riwayat 'main aman', sampai getah lengket bernama Elora. Semuanya aku telan sampai muak sendirian.

Ketika Arfan bertanya apakah aku pernah naksir seseorang selain dia, ya jelas aku ngarang.

Lagian, bisa-bisanya si Paus tanya begitu di saat aku bilang stuck di satu nama selama dua puluh tahunan. Nalarnya itu ditaruh di mana?

"Gini amat jatuh cinta sama cowok yang enggak ngerti definisi cinta." Aku mendesah pasrah. "Bawaannya bikin gemes, seneng, terus pengin mites. Hih! Luar biasa banget ya cewek yang tahan nge-crush-in seseorang diem-diem. Aku yang terang-terangan aja pengin gigit!"

Menyambar tas tangan, aku mematut diri di depan cermin. Ekspresiku masam.

Pernikahan Gladys menggunakan adat Jawa. Mengingat akad dan ritual adat telah diselenggarakan pada pagi hari, aku datang sebagai tamu biasa di resepsi.

Kebaya brukat modern berwarna lilac membalut tubuhku dengan sempurna. Melalui pantulan cermin, aku rapikan sedikit anakan rambut yang sengaja dibiarkan jatuh di depan telinga. Hiasan bernuansa lilac tak lupa memperelok rambut yang disanggul sederhana.


Si Paus:
Ai, kamu dateng ke nikahan Gladys jam berapa?


Aku hanya melirik chat dan memilih menghampiri mobil Kadewa yang telah menunggu.

"Kamu dandan apa mati suri, sih, Dek?" semprot Kadewa begitu melihatku.

Lirikanku sinis. "Dih, apaan? Emang siapa yang minta dijemput Abang? Nunggu-nunggu sendiri, protes-protes sendiri!"

Itu benar. Kadewa yang inisiatif menjemputku tanpa diminta. Aku yang awalnya hendak memanggil taksi, jadi urung melakukannya.

Abang mendengkus sambil membantuku duduk di jok penumpang.

"Etdah, nih bocah perasaan bikin gue serbasalah. Enggak dijemput, ngadu ke Papa. Dijemput malah enggak terima. Bingung gue, anjer!" Kadewa berkacak pinggang sebelum memutari mobil. "Asal kamu tahu, ya, Ra. Demi ngajakin kamu, Abang tuh rela berkorban sampe diputusin pacar yang katanya udah dandan cakep. Abang lebih takut dijadiin gado-gado sama Papa gegara biarin kamu pergi sendirian ke acara rame, padahal habis masuk rumah sakit."

Bibirku mencebik, tidak langsung percaya.

"Itu pacar yang keberapa, Bang?"

"Tiga! Sisa dua kan jadinya. Aelah, gara-gara kamu, sih!" Kadewa mengomel-ngomel sembari melintangkan seatbelt.

Mahakampret komodo satu ini. Aku iseng bertanya, jatuhnya malah gedek sendiri. Pengorbanan macam apa itu? Ngadi-ngadi.

"Muka pas-pasan, gayanya punya pacar berserakan. Ih, cewek yang mau sama Abang pasti khilaf doang," hujatku.

"Sembarangan! Abang ganteng, ya! Mirip pemain utama di drama Korea yang biasa Bu Na tonton--siapa tuh namanya?"

"Kim Jong-un?" timpalku asal.

Sori, standarku Arfanisme dan Jung-kookisme. Menilik betapa eneknya aku melihat Kadewa dari bocah sampai segede unta, tentu dia tidak termasuk kategori ganteng di mataku. Aibnya menutupi semua itu.

Kadewa mengumpat lagi. Aku memasabodohkannya dengan mengotak-atik ponsel.




Ainara Serafina:
Petang, abis magrib. Kenapa?

Si Paus:
Enggak pa-pa. Kebetulan saya wakilin Deo. Dia diundang, tapi enggak bisa dateng karena lagi honeymoon.

Ainara Serafina:
Deo kenal Gladys?

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz