Part 29 | Forecasting Pain

9K 1.4K 614
                                    

LUTUTKU melemas begitu tahu itu Arfan. Provokasi keluarganya membuatku keceplosan meneriakkan isi perasaan tanpa berpikir dia mungkin akan mendengarkan.

Kaki panjang Arfan menelan jarak sepuluh langkah di antara kami. Tak tersirat ekspresi apa pun di wajahnya saat mengulurkan air mineral kemasan.

"Ini minumnya, Ra. Katanya tadi kamu haus," ucapnya datar. Matanya memindai satu per satu kerabatnya. "Have some respect, please. Enggak usah ganggu Nara. Saya berterima kasih atas kehadiran kalian hari ini, tapi bukan untuk mencaci saya ataupun keluarga saya. Pintu keluar selalu terbuka buat Anda sekalian."

Dengan itu, Arfan merangkulku menjauh. Gaun panjang sedikit menyulitkanku, jadi Arfan melambatkan laju kakinya. Kami berakhir duduk di kursi dekat kolam renang yang berada di sisi lain vila.

"Ana punya flat shoes, kalau kamu capek pake heels, Nara," tuturnya kaku. "Enggak pa-pa lepas heels daripada kaki kamu merah-merah nanti. Feel free."

Jantungku serasa ingin meledak dari rongganya ketika Arfan menatapku lurus. Raut tenangnya amat berkebalikan denganku yang kacau.

Aku ingin melarikan diri dari situasi ini. Malu, gugup, takut, tak sanggup... bertahun-tahun aku memendamnya, mengapa begini cara pengungkapannya?

Bagaimana pendapat Arfan? Akankah dia marah ternyata aku bukan sosok yang less expectation terhadapnya?

Mengapa aku sebegitu ingin tahunya tentang masa lalu Arfan, sejarah hubungannya, kesal melihatnya berdekatan dengan Elora, hingga menumbalkan diri untuk menghadapi anggota keluarganya... itu semua karena aku menyukainya.

Apa yang Arfan pikirkan? Mengapa dia sama sekali tak berkomentar?

"Sejak kapan..." vokal Arfan mengalun lambat, "sejak kapan, Nara?"

Tenggorokanku luar biasa kering. Aku membasahi bibir sebelum menarik napas dalam.

"Sejak lama," kataku. Tak berani menatapnya. "I have a crush on you for a long long time. Bukan dari pertemuan pertama di Historica-fé, tapi..." aku nyaris tak punya keberanian meneruskan, "sejak kamu bikinin flower crown buatku pertama kali, Arfan."

Aku menutupi muka saking tidak kuasa melihat reaksinya.

Crap! Aku mengacau. Seharusnya bukan begini momennya. Sayangnya aku sudah tidak tahan lagi memendam.

I love him for a long time.

Dari dia memanggilku 'Bocil' sampai aku menyebutnya 'Paus', dari dia bermimpi keliling dunia bersama kamera sampai jadi jurnalis besar, dari dia yang hanya bisa minum air gula ketika lapar sampai punya segalanya, dari dia yang menukar satu pertanyaan demi satu cookies sampai bisa beli pabrik cookies-nya, dari dia yang bukan apa-apa sampai jadi Arfando yang luar biasa. Aku menyukainya.

Rasa bersalahku padanya adalah caraku mengingatnya. Arfan membuat masa kecilku pantas dikenang berkat kehadirannya. Arfan membantuku melalui masa remaja yang kurang menyenangkan dengan menyebutku istimewa, bukan alien.

Arfan membuatku percaya masa depan patut dijalani karena aku pasti akan bertemu dengannya lagi suatu hari nanti. Aku terus menunggu. Aku terus menunggunya kembali memenuhi janji.

Dan dia kembali. Waktu boleh saja mengubahku, tapi perasaanku padanya tak pernah mati.

"Flower crown... dua puluh tahun?" Keterkejutan nyata dalam suara Arfan memancingku mendongak. "Seinget saya, kamu masih tujuh tahun waktu itu, Nara. Saya empat belas. You have a crush on me since that time?"

"Feel free to call me stupid, Arfan." Air mataku merebak. "Kamu bikin standar cowokku terlalu tinggi. Aku jadi susah ngelupain."

"Ya, tapi dua puluh tahun...?" Koneksi otak Arfan tampaknya nge-hang mencerna pengakuanku. "Kalau buat kredit motor, kamu bisa dapet enam motor selama itu, Ra."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now