Part 44 - END | A Whole Galaxy

16.2K 1.6K 860
                                    

HUJAN meteor Orionid terjadi setiap tahun pada bulan Oktober. Debu dan puing dari Komet Halley melintasi bumi, makanya menghasilkan hujan meteor.

Aku harap langit Purwokerto cerah malam ini. Angin bertiup dari timur ke tenggara dengan kelembapan relatif rendah. Anomali divergensi positif menunjukkan pembentukan awan hujan relatif kecil. Kalau prediksiku tidak meleset, hujan meteor dapat diamati dari sini.

"Kamu cuti dua hari doang, Ai?"

Di sampingku, Arfan melepas kacamata antiradiasi yang dikenakannya. Menutup laptop kerja, berbicara sejenak pada sopir, lalu menaikkan partisi mobil.

"Em... ya. Enggak boleh kelamaan. Kamu udah kelar kerjanya, Arfan? Pusing enggak kepalamu?"

Kondisi Arfan yang belum sempurna baikan membuat kami sepakat memakai jasa sopir. Tidak memaksakan, sebenarnya aku pun bersedia menunggu sampai Arfan sembuh, tapi Paus bandel ini saja yang tidak mau. Takut aku berubah pikiran, katanya.

Arfan dengan tidak tahu malunya menyodorkan kepala.

"Pusing ini, Ai. Butuh dielus-elus plus tiyum Ainara."

"Tiyum pake heels, mau?" Modusnya, ya Allah. Aku melirik partisi. "Enggak usah aneh-aneh, deh! Bentar lagi nyampe tujuan!" sewotku galak, lalu meraih kepala Arfan untuk tiduran di paha kananku.

Laki-laki itu melongo. "Loh...?"

"Sst... diem!" Berhati-hati, aku menempatkan jahitan Arfan agar tak terlalu ditekan. "Disuruh istirahat sama dokter tuh nurut. Pusing kan jadinya. Mama kamu pasti ngomel kalau ngerti."

"Jewer, Ai. Bukan ngomel lagi."

"Nah!"

Asli, aku lemah sekali dengan permintaan si Paus. Lebih-lebih aku tahu salah satu tujuan kami pulang kali ini adalah ziarah ke makam ibunya Arfan selain menghadap orang tuaku. Ini bisa dibilang ziarah pertama usai dua dekade Arfan absen.

"Ai, andai saya ngerti kamu jodoh saya, udah saya culik kamu dari zaman bocil, ya."

Kan, kan... random-nya kumat lagi.

Aku menjentik kening si Paus. "Dih, akunya malah uncrush kalau lihat kamu tiap hari!"

"Bukan makin suka?"

"One day, one aib. Ya kali suka. Ilfeel-lah iya!"

Contohnya Kadewa. Gara-gara mengenalnya sejak bayi, aku selalu pengin muntah tiap ada perempuan yang memujinya lelaki idaman.

Huek! Ada sisi baiknya Arfan tumbuh jauh dariku. Tidak dapat kubayangkan jika aku menyaksikan dajalnya Arfan sehari-hari. Trope kisah kami jelas bukan lagi crush to lovers, melainkan hell neighbour to ilfeel, ilfeel, ilfeel.

"Bener, sih. Apalagi age-gap kita tujuh tahunan ya, Ai...." Arfan menekuk kakinya, menatapku dengan raut berpikir keras. "Saya udah SMA, kamu masih SD. Dipikir-pikir agak creepy bayangin anak SMA mupeng ke anak SD. Hiii... saya bukan pedofil, Ai!"

"Ngerti. Kamu kan lebih ke om-om vibes."

Arfan ngakak.

No offense, wajah Arfan memang menipu umur aslinya. Ditambah karakter royal dan jurus lambe rombeng, makin benderanglah vibes om-om tajir.

Berarti kamu korban om-om, Nara?

Yah, bisa dibilang begitu. 'Om-om' yang aku kenal sejak bocil.

Tangan Arfan menangkap pergelanganku.

"Iya, seumuran saya emang cocok disebut om-om, Ai. Not a boy, but a man." Ia menjalarkan tanganku ke pundaknya, lengan, dada, lalu berakhir di perut. "Tapi tenang, Ai. Saya suka olahraga, enggak ngerokok, enggak minum alkohol, jauhin kafein, dan no junk food, jadi stamina saya terjamin bagus. Bikin kamu enggak keluar kamar tiga hari pun lebih dari sanggup."

A Game to Make Him Fall [TAMAT]Where stories live. Discover now