13.Panji dan Buku Harian Kardiman

33 3 0
                                    

Panji terdiam mendengar laki laki tampan di hadapannya menceritakan apa yang sebenarnya terjadi pada tanah milik keluarganya di Sebuah desa kecil di tepi laut Pacitan bernama Segara Inten... Desa dimana si tampan... Arok Sawidji tumbuh dan besar di tangan sang ayah... Sementara sang Ibu meninggal pada saat Arok berusia 3 tahun akibat wabah kolera yang melanda desa di pesisir selatan pulau jawa bagian timur itu

Matahari terbenam menebarkan warna jingga yang hangat di langit, menciptakan bayangan panjang yang mengikuti deretan pohon kelapa di sepanjang jalan. Suara ombak yang bergemuruh di kejauhan memberikan sentuhan menenangkan pada suasana sore yang sepi. Arok memejamkan matanya perlahan sejenak lamunan  membawa Arok kembali pada malam ketika segalanya berubah. Suasana sunyi di kampung yang terganggu oleh kabar burung yang beredar cepat dari mulut ke mulut. Lurah Desa Segara Inten Gunadi Wicaksono, bersama Aparat desa dan beberapa orang yang sama sekali dia tak kenal  , memimpin masyarakat ramai ramai mendatangi  rumah keluarga Sawidji. Mereka datang dengan surat perintah yang menyatakan bahwa tanah mereka, tanah dengan luas tidak seberapa  yang telah menjadi milik keluarga Sawidji sejak hijrah dari Madiun, akan disita. Arok mengingat betul bagaimana ayahnya mencoba berargumen membela haknya dan  menuntut penjelasan tentang alasan ini semua , tapi Lurah Gunadi hanya tersenyum sinis sambil menuding  "Kardiman Sawidji kau lari dari Madiun karena terlibat dalam pemberontakan PKI pada tahun 1948. Kau musuh negara, dan kalian tidak berhak atas tanah ini dan karenanya tanah ini....adalah  milik negara...milik Segara Inten.... sekarang."

Arok teringat betapa ayahnya berusaha membantah tuduhan itu, namun Lurah Gunadi tidak terpengaruh, teriakan teriakan berlanjut tinju dan batu..... Dalam hitungan menit, entah siapa yang memulai  rumah itu mulai terlalap oleh api.... tanah yang seharusnya melindungi mereka berubah menjadi tempat dimana mereka meregang nyawa..... Khususnya untuk sang ayah... Kardiman Sawidji. Sejak malam itu, Arok  hidup dalam dunia tanpa siapa siapa . Ibunya, Suwarti Sawidji sudah lama meninggal karena wabah saat si tampan berusia 3 tahun. Dan sekarang Ayahnya, Kardiman Sawidji, telah menjadi korban sebuah cerita bohong  yang mengantarnya pada ajalnya. Kini, Arok tinggal sendirian di gubug yang dia buat ditengah reruntuhan bekas bangunan rumahnya, tanpa harta, tanpa daya, dan tanpa siapapun yang membantunya mencari keadilan.... Dia adalah satu-satunya saksi hidup dari serangan kejam Lurah Gunadi terhadap keluarganya.

Laki laki tampan itu menggenggam kuat Buku dengan kulit compang camping dengan lembar lembar kertas kuning tua yang dipenuhi dengan coretan-coretan hitam. Itulah warisan dari sang ayah, Kardiman Sawidji.  Arok tahu
Kardiman adalah pria pemberani yang tidak segan pada siapapun. Dia tak pernah takut untuk berbicara terbuka, dan itulah yang membuatnya berbahaya bagi orang-orang seperti Lurah Gunadi dan dalam coretan hitam di atas kertas itulah tersembunyi rahasia kelam yang menghantui Gunadi dan kroni kroninya selama bertahun-tahun.... kunci untuk memecahkan misteri dan mengembalikan nama baik sekaligus harta peninggalan sang ayah.

"Dulu kau memiliki kekuatan, Ayah," gumam Arok sambil menutup kembali buku usang itu  dan menyelipkannya ke dalam kantong bajunya
"dan sekarang aku akan merebut  semuanya... kembali" ujarnya memandangi langit kemerahan

"ayahku tidak hanya kehilangan tanahnya, Dia kehilangan harga dirinya. Gunadi dan kelompoknya menyebarkan fitnah, menghubungkan masa lalu keluargaku dengan PKI, hanya untuk menutupi ambisi mereka sendiri.... Sementara aku terseok seok untuk hidup dengan menjadi buruh nelayan.... karenanya aku mau mereka semua membayar.... Mereka semua membayar dan aku mendapatkan hak ku kembali" Ujar Arok menutup ceritanya seraya menyerahkan buku harian usang Kardiman kepada Panji

Panji terdiam sesaat memandangi buku tua itu..... " Mas arok perlu mengerti... Aku bukan pembunuh bayaran dan aku... Aku gak bisa bantu soal pembalasan dendam.... Tapi untuk masalah tanah.... Kupikir kita bisa mulai dari situ.... Dengan sangat berhati-hati."

the eternity origins : Pages of PanjiWhere stories live. Discover now