14. Kepingan Puzzle

5.3K 451 27
                                    

***

Alvand mengelus dengan sayang rambut Valerienya. Pandangannya tak lepas sedetikpun dari wajah pucat yang terpejam dalam dekapannya itu.

Istrinya telah tertidur sejak setengah jam lalu, lebih tepatnya setelah dokter dengan terpaksa memberikan suntikan penenang kepadanya.

Alvand memang sama sekali tidak keberatan dengan istrinya yang terus memberontak dan mencakari kedua lengannya, baginya, lukanya itu tidak akan pernah seberapa dengan luka yang saat ini tengah dirasakan Valerienya, namun dokterlah yang terpaksa bertindak dengan alasan tidak bisa membiarkan pasiennya membahayakan keselamatan orang lain.

Padahal, ia rasa itu adalah hal yang paling tidak mungkin. Pasien itu hanyalah istrinya, bukan seorang pembunuh yang perlu ditakuti.

Alvand tersenyum saat melihat lamat-lamat istrinya yang kembali terbangun. Lagi-lagi Alvand berusaha untuk menyunggingkan senyum cerah dan bersikap seolah tidak pernah terjadi apa-apa.

"Selamat sore, sayang?"

Perempuan itu memang menatap ke arahnya, namun hanya sebatas menatap tanpa mau mengucapkan sepatah kata.

"Sayang, mau aku kasih tau sesuatu?"

Jika biasanya ia akan melihat istrinya yang sangat antusias layaknya bocah TK, kali ini yang ia dapati justru sebaliknya. Tidak ada antusias, apalagi respons yang berharga.

"Kamu makin cantik hari ini"

Meskipun apa yang diucapkannya kali ini tulus, tidak sekedar gombalan seperti yang lalu, namun tetap saja keheningan yang membalasnya. Tidak ada sepasang bola mata yang berbinar, tidak ada kedua pipi yang memerah, apalagi seutas senyum yang mengembang.

Alvand menghela napas, mencoba menghembuskan sesak.

Perlahan sebelah tangannya yang bebas naik untuk mengusap puncak kepala Valerienya.

"Cepat sembuh ya sayang? Aku nggak mau ngeliat kamu kaya gini, aku bisa mati kalau terus-terusan ngeliat kamu yang seperti ini. Cepat sembuh, I love you"

Alvand mencium puncak kepala istrinya singkat, menopangkan dagu di atas kepala itu sambil memejamkan mata. Membiarkan tetes demi tetes yang sudah ditahannya sejak beberapa jam lalu akhirnya tumpah.

Jika harusnya ia hanya merasakan kedua pipinya yang basah, namun saat ini ia juga merasakan kaos yang dikenakannya basah.

Tidak lama setelahnya, perlahan tapi pasti, ia bisa merasakan sepasang tangan mungil yang memeluk erat tubuhnya.

Hal itu tentu membuat air mata lelaki itu semakin menderas. Bukan lagi air mata kesedihan, melainkan air mata kebahagiaan.

***

Atas permintaannya, beberapa menit lalu istrinya baru saja berpindah ruangan.

Valerie dipindahkan ke sebuah ruang inap yang memiliki ranjang dengan size yang lebih luas.

Mengapa?
Agar mereka bisa seperti sekarang ini. Berbaring bersebelahan dengan Valerie yang menjadikan lengan suaminya sebagai bantalan.

 Sᴇᴄʀᴇᴛ Wɪғᴇ (END)Where stories live. Discover now