19. Ego manusia (2)

5.1K 430 87
                                    

Masih apa adanya,belum diedit, maafkan typo, insyaallah besok sudah rapih.

Selamat membaca, semoga jatuh cinta

***

Malam semakin larut. Koridor rumah sakit yang semula ramai, berangsur-angsur semakin sepi, bahkan nyaris tidak ada lagi yang melintasi. Gedung serba putih itu seakan mati ditelan dinginnya malam hari.

Namun tiga manusia itu masih tetap setia di sana. Alara, Reinaldo, dan Valerie. Entah sudah berapa jam mereka duduk di sana, terus memanjatkan doa,berharap seorang dokter akan segera keluar dengan membawa kabar baik untuk mereka.

Valerie duduk di atas kursi roda dengan Reinaldo yang duduk di bangku besi yang ada di sampingnya, sementara Alara duduk memisah dari keduanya, kepala perempuan itu tertunduk dalam.

Reinaldo mengusap wajahnya kasar. Lelaki itu tidak menyukai pemandangan yang ada di hadapannya ini, saat ia harus menatap dua perempuan yang sangat penting dalam hidupnya itu terluka.

Ia tidak tega menatap adiknya yang sangat terluka akibat perbuatannya ini, terlebih sejak beberapa jam lalu adiknya itu tidak mau menatap apalagi bicara kepadanya.

Lelaki itu kembali menatap ke arah Valerie entah untuk yang keberapa kali, pandangan perempuan itu masih kosong seperti beberapa jam lalu, wajahnya juga semakin memucat seiring bertambahnya waktu, sungguh pemandangan yang langsung membuat hati lelaki itu tergeruyuh,perih.

Ingin rasanya ia mendorong kursi roda Valerie dan membawa perempuan itu kembali ke ruang inapnya, namun ia merasa tidak memiliki kuasa. Memangnya ia siapa sehingga bisa dengan mudahnya membawa Valerie pergi dari tempat ini? Sementara alasan yang membuat perempuan itu masih bertahan di sini walau harus menahan sakitnya adalah orang yang sangat ia cintai?

Seorang dokter tampak keluar dari pintu ruang unit gawat darurat itu, membuat Alara dan Reinaldo langsung bangkit dari tempatnya.

"Bagaimana keadaan suami saya dok?" tanya Alara dan Valerie dengan bersamaan, membuat dokter lelaki itu sempat menatap ke arah mereka bingung.

"Keadaan pasien masih sangat lemah, namun pasien sudah berhasil melewati masa kritisnya. Pasien akan segera kami pindahkan ke ruang inap, namun selagi keadaan pasien belum stabil, sebaiknya pasien tidak dibesuk terlebih dahulu, karna pasien membutuhkan istirahat yang sangat intensif"

"Tapi dok, tolong biarkan saya menemui suami saya, sebentar saja dok, saya mohon" Alara memohon, kedua bola mata perempuan itu sudah berkaca karna mendengar dokter yang mengatakan jika suaminya belum boleh ditemui untuk sementara waktu. Padahal ia sudah sangat ingin bertemu dengan suaminya,berharap bisa memberikan kekuatan dengan menggenggam kedua tangan lelaki itu.

"Baik, tapi hanya satu orang saya, semua ini demi kebaikan pasien. Saya harap bapak dan ibu bisa mengerti"

"Terima kasih, dokter"

Alara tersenyum tipis, seraya mengusap air mata yang ada pipinya.

"Alara.."

Bukan, bukan kakaknya lah yang memanggil namanya, Alara tau persis itu, namun entah mengapa seperti ada beban berpuluh-puluh ton di lehernya, membuatnya merasa berat untuk menoleh.

"To-long Alara..,sekali ini saja..."

Alara akhirnya membalikkan tubuhnya, melihat ke arah seorang perempuan yang duduk di atas kursi rodanya, wajah pucatnya basah akan air mata, di sebelah tangannya terdapat selang infus yang masih menancap di sana, perempuan itu sedang menatap ke arahnya, dengan tatapan yang penuh akan permohonan.

 Sᴇᴄʀᴇᴛ Wɪғᴇ (END)Where stories live. Discover now