18. Ego manusia (1)

5.1K 404 57
                                    

Hi, annyeong, selamat membaca, semoga jatuh cinta

***

Alara menaikkan selimut yang dikenakan oleh suaminya.

Setelah mengecup singkat sebelah pipi lelaki itu dan mematikan lampu, ia berlalu.

Ia tidak tahu, apa yang membawanya sampai di teras rumah, padahal ia tahu persis jika malam telah semakin larut.

Lara duduk pada kursi. Langsung disambut dengan semilir angin malam yang menerpa pori-pori kulitnya, membuat rambut tipisnya sedikit berterbangan di udara.

Sejak hari pernikahan kita dan hingga kini aku tidak memiliki perasaan lebih sebagaimana mestinya untukmu

Itu bukanlah kalimat paling menyakitkan yang pernah ia dengan dari suaminya. Bahkan, tanpa perlu lelaki itu mengatakannya sekalipun, ia sudah lebih dulu merasakannya. Merasakan tatapan hampa pada kedua bola mata milik lelaki itu saat mereka bahkan saling bertatapan, juga  melihat senyum yang seolah selalu ditarik paksa oleh lelaki itu saat mereka bersama. Dua hal yang cukup untuk menunjukan jika ia bukanlah sang pemilik ruang di hati lelaki itu.

Ia sudah tau sejak lama. Namun dengan bodohnya ia  selalu menganggap itu sebagai hal kecil yang akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Pernikahan mereka yang berawal dari sebuah perjodohan membuat Alara tambah memaklumi hal itu, perempuan itu meyakini jika cinta itu akan datang karna terbiasa.

Selama ini yang ia lakukan hanyalah bersabar, mencoba melengkapi setiap kekurangan yang ia miliki, berharap jika semua usaha yang ia lakukan akan membuat lelaki itu menatap ke arahnya, sedikit saja. Namun sayangnya, semua usahanya itu tidak menghasilkan apapun, tidak merubah sedikitpun jarak di antara mereka.

Aku memiliki perempuan lain yang telah aku nikahi sehari sebelum pernikahan kita

Jangan bertanya bagaimana rasanya kala ia mendengar kalimat itu. Ia hancur, roboh semua pertahanan yang telah ia bangun selama bertahun-tahun.

Ia memang sangat mengetahui jika lelaki itu sama sekali tidak memiliki rasa terhadapnya,bahkan  juga sudah mengetahui jika suaminya itu diam-diam telah bermain api di belakangnya, namun ia sama sekali tidak menyangka jika perempuan yang  diajak bermain api itu sebenarnya adalah istri pertama dari lelaki itu. Perempuan yang secara tidak langsung telah menempatkannya pada posisi sulit, sebagai pihak ketiga.

Dengan posisinya yang seperti ini, ia benar-benar dibuat tidak berdaya.

Ia tidak berhak marah, tidak pantas pula untuk merasa kecewa, justeru di sini ialah yang merasa sangat berdosa.

Ia merasa sangat berdosa kepada perempuan itu.

Alara mendongak, menatap langit yang bertaburan bintang.

" Ayah, ibu, apa yang harus Lara lakukan? "

Tetes-tetes  air itu mengalir dari kedua kelopak matanya. Sekarang ia baru memahami, jika memperjuangkan perasaan ternyata bisa sampai sesakit ini, jika bertahan nyatanya bukanlah suatu pilihan yang akan menguntungkan di kemudian harinya.

Bertahan sakit,  namun melepaskan sulit.

****

Perempuan itu tidak ingat, kapan terakhir mereka duduk berhadapan sambil sarapan bersama, sarapan yang sesungguhnya.

Biasanya, jika lelaki itu hanya akan meneguk segelas air atau meraih selembar roti dan kemudian buru-buru meninggalkan ruang makan dengan alasan sudah terlambat. Padahal ia rasa suaminya itu tidak akan terlambat untuk sampai di kantornya walaupun ia menyempatkan untuk sarapan.

 Sᴇᴄʀᴇᴛ Wɪғᴇ (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang