BAB 3

33.2K 2.5K 218
                                    

Bab 3

Setelah menempuh perjalanan yang hampir memakan waktu setengah jam, akhirnya Raza sampai di rumah yang sudah tampak ramai dengan beberapa mobil terparkir rapi di pekarangan.

Seperti biasa, keluarganya memang selalu menyisihkan waktu untuk berkumpul setiap bulan. Karena acara bulan kemarin dilaksanakan di rumah pamannya, maka bulan ini giliran di rumah orang tuanya.

Begitu membuka pintu, suara orang yang bercakap-cakap yang juga diselingi gelak tawa memenuhi gendang telinganya. Dengan santai, Raza melenggang begitu saja untuk menemui para orang tua yang sedang duduk di ruang tamu, lalu menyalami mereka secara bergantian.

"Baru pulang, Bang?" sapa sang paman yang langsung dibenarkan olehnya.

"Iya, Om."

"Mama kamu udah riweuh sendiri dari tadi, nungguin kamu pulang," lanjut sang paman yang dibalas Raza dengan senyum tipis, tanpa berniat untuk menanggapi.

Sebenarnya, dia sudah menduga kalau ibunya pasti akan mengomel setelah ini.

"Temui Mama dulu, jangan langsung masuk kamar," pesan sang ayah yang langsung disetujui Raza.

Setelah menyalami dan menyapa kakek, paman, serta ayahnya, Raza pun langsung bergegas ke dapur. Bisa dipastikan kalau para ibu tengah berada di dapur.

"Sel," sapa Raza saat melihat sepupu perempuan satu-satunya itu sedang duduk selonjoran di sofa ruang keluarga, dengan pandangan fokus pada benda pipih yang digenggamnya.

Raza mengacak pelan rambut milik sepupunya itu, membuat si sepupu pun berdecak kesal bahkan menyuarakan protes, "Zaaa, ih."

"Abang, Sel," peringat Raza saat sepupunya yang bandel itu selalu memanggilnya dengan nama. Padahal, mereka terpaut empat tahun, jelas Raza yang lebih tua.

"Terserah! Sana, deh, jangan ganggu gue. Tante nanyain lo terus dari tadi."

Raza menggeleng. Setelah mengacak rambut sepupunya sekali lagi, dia pun pergi. Rasanya memang menyenangkan menggoda sepupunya yang judes itu.

"Ya ampun, Zaaa, kamu dari mana aja?"

Sambutan yang cukup menyenangkan. Dugaannya tepat sekali, bukan?

"Mama suruh kamu pulang jam delapan, lho, dan ini udah setengah sepuluh, kamu baru pulang. Katanya lagi nggak ada kelas, tapi sibuknya udah ngalahin orang kantoran aja kamu, ya. Untung masih ingat pulang."

Raza meringis. Dia jelas tahu kalau sang mama tengah menyindirnya. Karena dia yang salah, maka lebih baik diam. Sekiranya, itulah yang papanya ajarkan.

Satu yang harus dia lakukan saat sang mama marah dan mengomel adalah diam. Meskipun dia tak salah, lebih baik dia diam terlebih dahulu. Nanti, kalau marah mamanya sudah reda, barulah dia membela diri.

"Sorry, Ma, tadi nganterin Yasmin pulang dulu," ucapnya.

Sang mama berdecak. "Emangnya perjalanan dari rumah Yasmin berapa puluh jam, sih? Lagian, kamu bisa ajak dia ke sini. Toh dia pacar kamu, kan?"

"Masalahnya, besok Yasmin ada kelas pagi. Kasihan, kalau pulang terlalu malam."

"Ngelesnya udah pintar banget, ya, sekarang. Mendingan kamu mandi dulu sana, jangan pakai air dingin."

"Iya, Ma, iya."

Setelah mengecup pipi mamanya sekilas, juga mengecup pipi sang Tante yang baru saja tiba entah dari mana, Raza pun berpamitan untuk membersihkan diri.

"Puas ngomelnya, Bu?" sahut Jihan begitu melihat keponakannya sudah menaiki tangga. Dia yang baru saja dari kamar mandi pun terkekeh geli saat melihat sahabat sekaligus sepupunya itu tengah mengomeli anak tertuanya.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now